Tutorial blog, Template Gratis, Ebook Gratis

Minggu, 31 Januari 2010

Gajah Mada

Gajah Mada adalah seorang panglima perang ulung serta ahli strategis merupakan salah satu tokoh besar dan sangat berpengaruh pada zaman kerajaan Majapahit.[1][2] atau tokoh harapan [3] Menurut berbagai bersumberkan kitab dan prasasti dari zaman Jawa Kuno dituliskan bahwa ia memulai meniti karir mulai tahun 1313 kemudian karirnya mulai menanjak setelah adanya peristiwa pemberontakan tragis Ra Kuti masa pemerintahan Raja Jayanagara yang membawanya menjabat sebagai Patih [1] Mahapatih (Menteri Besar) pada masa Ratu Tribhuwanatunggadewi, kemudian menjabat sebagai patih Amangkubhumi (Perdana Menteri) yang mengantarkan Majapahit ke puncak kejayaannya.[4]

Gajah Mada walaupun dikenal dengan sumpahnya yaitu Sumpah Palapa yang tercatat dalam Pararaton [5] yang menyatakan bahwa ia tidak akan memakan palapa sebelum berhasil menyatukan Nusantara sebagai salah satu tokoh sentral saat itu akan tetapi ternyata sangat sedikit sekali catatan-catatan sejarah mengenai dirinya bahkan wajah tokoh Gajah Mada yang dikenal saat sekarang ini masih meninggalkan kontroversial. [6] Pada masa sekarang, Indonesia telah menetapkan Gajah Mada sebagai salah satu Pahlawan Nasional dan merupakan simbol nasionalisme[7] dan persatuan Nusantara[8]

Awal karier

Tidak ada informasi dalam sumber sejarah yang tersedia saat pada awal kehidupannya, kecuali bahwa ia dilahirkan sebagai seorang biasa yang naik dalam awal karirnya menjadi Begelen atau setingkat kepala pasukan Bhayangkara pada Raja Jayanagara (1309-1328) terdapat sumber yang mengatakan bahwa Gajah Mada bernama lahir Mada[9] sedangkan nama Gajah Mada[10] kemungkinan merupakan nama sejak menjabat sebagai patih. [11]

Dalam pupuh Désawarnana atau Nāgarakṛtāgama karya Prapanca yang ditemukan saat penyerangan Istana Tjakranagara di Pulau Lombok pada tahun 1894[12] terdapat informasi bahwa Gajah Mada merupakan patih dari Kerajaan Daha dan kemudian menjadi patih dari Kerajaan Daha dan Kerajaan Janggala yang membuatnya kemudian masuk kedalam strata sosial elitis pada saat itu dan Gajah Mada digambarkan pula sebagai "seorang yang mengesankan, berbicara dengan tajam atau tegas, jujur dan tulus ikhlas serta berpikiran sehat".[4][13][14]

Menurut Pararaton, Gajah Mada sebagai komandan pasukan khusus Bhayangkara berhasil memadamkan Pemberontakan Ra Kuti, dan menyelamatkan Prabu Jayanagara (1309-1328) putra Raden Wijaya dari Dara Petak. Selanjutnya di tahun 1319 ia diangkat sebagai Patih Kahuripan, dan dua tahun kemudian ia diangkat sebagai Patih Kediri.

Pada tahun 1329, Patih Majapahit yakni Aryo Tadah (Mpu Krewes) ingin mengundurkan diri dari jabatannya. Dan menunjuk Patih Gajah Mada dari Kediri sebagai penggantinya. Patih Gajah Mada sendiri tak langsung menyetujui, tetapi ia ingin membuat jasa dahulu pada Majapahit dengan menaklukkan Keta dan Sadeng yang saat itu sedang memberontak terhadap Majapahit. Keta dan Sadeng pun akhirnya dapat ditaklukan. Akhirnya, pada tahun 1334, Gajah Mada diangkat menjadi Mahapatih secara resmi oleh Ratu Tribhuwanatunggadewi (1328-1351) yang waktu itu telah memerintah Majapahit setelah terbunuhnya Jayanagara.

Sumpah Palapa
Ketika pengangkatannya sebagai patih Amangkubhumi pada tahun 1258 Saka (1336 M) Gajah Mada mengucapkan Sumpah Palapa yang berisi bahwa ia akan menikmati palapa atau rempah-rempah (yang diartikan kenikmatan duniawi) bila telah berhasil menaklukkan Nusantara. Sebagaimana tercatat dalam kitab Pararaton dalam teks Jawa Pertengahan yang berbunyi sebagai berikut[15]

“ Sira Gajah Mada pepatih amungkubumi tan ayun amukti palapa, sira Gajah Mada: Lamun huwus kalah nusantara ingsun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seram, Tañjungpura, ring Haru, ring Pahang, Dompu, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana ingsun amukti palapa ”

bila dialih bahasakan mempunyai arti[15]

“ Beliau, Gajah Mada sebagai patih Amangkubumi tidak ingin melepaskan puasa, Gajah Mada berkata bahwa bila telah mengalahkan (menguasai) Nusantara, saya (baru akan) melepaskan puasa, bila telah mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikianlah saya (baru akan) melepaskan puasa ”

Invasi

Walaupun ada sejumlah pendapat yang meragukan sumpahnya, Gajah Mada memang hampir berhasil menaklukkan Nusantara. Dimulai dengan penaklukan ke daerah Swarnnabhumi (Sumatera) tahun 1339, pulau Bintan, Tumasik (sekarang Singapura), Semenanjung Malaya, kemudian pada tahun 1343 bersama dengan Arya Damar menaklukan Bedahulu (di Bali) dan kemudian penaklukan Lombok, dan sejumlah negeri di Kalimantan seperti Kapuas, Katingan, Sampit, Kotalingga (Tanjunglingga), Kotawaringin, Sambas, Lawai, Kendawangan, Landak, Samadang, Tirem, Sedu, Brunei, Kalka, Saludung, Sulu, Pasir, Barito, Sawaku, Tabalung, Tanjungkutei, dan Malano.

Di zaman pemerintahan Prabu Hayam Wuruk (1350-1389) yang menggantikan Tribhuwanatunggadewi, Gajah Mada terus melakukan penaklukan ke wilayah timur seperti Logajah, Gurun, Sukun, Taliwung, Sapi, Gunungapi, Seram, Hutankadali, Sasak, Bantayan, Luwu, Makassar, Buton, Banggai, Kunir, Galiyan, Salayar, Sumba, Muar (Saparua), Solor, Bima, Wandan (Banda), Ambon, Wanin, Seran, Timor, dan Dompo.

Dilema

Terdapat dua wilayah di Pulau Jawa yang seharusnya terbebas dari invasi Majapahit yakni Pulau Madura dan Kerajaan Sunda karena kedua wilayah ini mempunyai keterkaitan erat dengan Narrya Sanggramawijaya atau secara umum disebut dengan Raden Wijaya pendiri Kerajaan Majapahit (Lihat: Prasasti Kudadu 1294 [16] dan Pararaton Lempengan VIII, Lempengan X s.d. Lempengan XII [17] dan Invasi Yuan-Mongol ke Jawa pada tahun 1293) sebagaimana diriwayatkan pula dalam Kidung Panji Wijayakrama.

Perang Bubat

Dalam Kidung Sunda[18] diceritakan bahwa Perang Bubat (1357) bermula saat Prabu Hayam Wuruk mulai melakukan langkah-langkah diplomasi dengan hendak menikahi Dyah Pitaloka putri Sunda sebagai permaisuri. Lamaran Prabu Hayam Wuruk diterima pihak Kerajaan Sunda, dan rombongan besar Kerajaan Sunda datang ke Majapahit untuk melangsungkan pernikahan agung itu. Gajah Mada yang menginginkan Sunda takluk, memaksa menginginkan Dyah Pitaloka sebagai persembahan pengakuan kekuasaan Majapahit. Akibat penolakan pihak Sunda mengenai hal ini, terjadilah pertempuran tidak seimbang antara pasukan Majapahit dan rombongan Sunda di Bubat; yang saat itu menjadi tempat penginapan rombongan Sunda. Dyah Pitaloka bunuh diri setelah ayahanda dan seluruh rombongannya gugur dalam pertempuran. Akibat peristiwa itu langkah-langkah diplomasi Hayam Wuruk gagal dan Gajah Mada dinonaktifkan dari jabatannya karena dipandang lebih menginginkan pencapaiannya dengan jalan melakukan invasi militer padahal hal ini tidak boleh dilakukan.

Dalam Nagarakretagama diceritakan hal yang sedikit berbeda. Dikatakan bahwa Hayam Wuruk sangat menghargai Gajah Mada sebagai Mahamantri Agung yang wira, bijaksana, serta setia berbakti kepada negara. Sang raja menganugerahkan dukuh "Madakaripura" yang berpemandangan indah di Tongas, Probolinggo, kepada Gajah Mada. Terdapat pendapat yang menyatakan bahwa pada 1359, Gajah Mada diangkat kembali sebagai patih; hanya saja ia memerintah dari Madakaripura.[19]

Akhir hidup
Disebutkan dalam Kakawin Nagarakretagama bahwa sekembalinya Hayam Wuruk dari upacara keagamaan di Simping, ia menjumpai bahwa Gajah Mada telah sakit. Gajah Mada disebutkan meninggal dunia pada tahun 1286 Saka atau 1364 Masehi.

Hayam Wuruk kemudian memilih enam Mahamantri Agung, untuk selanjutnya membantunya dalam menyelenggarakan segala urusan negara.

Penghormatan

Sebagai salah seorang tokoh utama Majapahit, nama Gajah Mada sangat terkenal di masyarakat Indonesia pada umumnya. Pada masa awal kemerdekaan, para pemimpin antara lain Sukarno sering menyebut sumpah Gajah Mada sebagai inspirasi dan "bukti" bahwa bangsa ini dapat bersatu, meskipun meliputi wilayah yang luas dan budaya yang berbeda-beda. Dengan demikian, Gajah Mada adalah inspirasi bagi revolusi nasional Indonesia untuk usaha kemerdekaannya dari kolonialisme Belanda.

Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta adalah universitas negeri yang dinamakan menurut namanya. Satelit telekomunikasi Indonesia yang pertama dinamakan Satelit Palapa, yang menonjolkan perannya sebagai pemersatu telekomunikasi rakyat Indonesia. Banyak kota di Indonesia memiliki jalan yang bernama Gajah Mada, namun menarik diperhatikan bahwa tidak demikian halnya dengan kota-kota di Jawa Barat.

Buku-buku fiksi kesejarahan dan sandiwara radio sampai sekarang masih sering menceritakan Gajah Mada dan perjuangannya memperluas kekuasaan Majapahit di nusantara dengan Sumpah Palapanya, demikian pula dengan karya seni patung, lukisan, dan lain-lainnya.

www.wikipedia.org

Sabtu, 30 Januari 2010

Adat atau Tradisi dalam Beribadah (1)

Setiap komunitas selalu mempunyai adat dan tradisi khas sesuai dengan peradaban dan falsafah hidup mereka. Adat dan tradisi tersebut lahir sebagai akibat dari dinamika dan interaksi yang berkembang di suatu komunitas lingkungan masyarakat. Oleh karenanya, bisa dikatakan, adat dan tradisi merupakan identitas dan ciri khas suatu komunitas.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, adat atau tradisi bermakna kebiasaan perilaku yang dijumpai secara turun-temurun. Karena bermula dari kebiasaan dan itu merupakan warisan dari pendahulu, maka akan terasa sangat ganjil ketika hal itu tidak boleh dilakukan atau dilakukan tapi tidak sesuai dengan kebiasaan yang berlaku.

Allah SWT menciptakan manusia dalam kemajemukan yang terdiri atas suku, bangsa dan tersebar di berbagai tempat. Kemajemukan tersebut melahirkan adat dan tradisi yang sangat beragam. Namun demikian manusia dibekali software yang tidak diberikan kepada makhluk lain, yaitu akal. Dengan akal inilah manusia menjadi makhluk yang sangat terhormat dan diharapkan bisa menjadi khalifah di muka bumi serta mampu menciptakan kreasi-kreasi baru yang membawa kemaslahatan bagi sesama. Dengan kesempurnaan yang dimilikinya, Allah SWT ‘menaruh harapan’ bahwa mereka mampu melakukan yang terbaik di muka bumi. Semua itu sebagai amanah Allah SWT yang harus kita manifestasikan untuk meningkatkan ketakwaan kepada Allah Yang Maha Esa.

Masyarakat Indonesia memiliki beragam adat dan tradisi yang berbeda dengan negara-negara lain, bahkan dari satu daerah ke daerah yang lain. Beragamnya agama, bahasa dan budaya adalah keniscayaan dalam konteks keindonsiaan.

Ketika masuk ke Indonesia lewat Walisongo, Islam begitu ramah menyapa umat. Tidak ada tindakan anarkis dan frontal melawan tradisi. Kelihaian Walisongo mengakomodasi budaya setempat ke dalam ajaran-ajaran Islam, menampakkan hasil yang luar biasa. Para masyarakat yang sebelumnya menjadi penganut kuat ajaran dinamisme dan animisme, pelan-pelan berbondong-bondong menghadiri majelis-majelis yang diselenggarakan Walisongo. Mereka hadir bukan karena dipaksa, tapi karena sadar bahwa ajaran Islam sangat simpatik dan ‘patut’ diikuti.

Itu hasil kreasi yang patut diapresiasi. Islam adalah agama yang mampu berakumulasi, bahkan hampir bisa dikatakan tak pernah bermasalah dengan budaya setempat. Bahkan budaya bisa didesain ulang atau dimodifikasi dengan tampilan yang elegan menurut syara’ dan lebih berdayaguna demi meningkatkan kasejahteraan hidup. Dengan demikian, kehadiran Islam di tengah masyarakat, dimanapun dan sampai kapanpun, akan selalu menjadi rahmatan lil alamin.

Islam Mengakomodasi Adat

Adat atau tradisi yang dimaksud di sini adalah adat yang tumbuh dan berkembang disuatu komunitas dab hal itu –secara prinsip- tidak terdapat dalam ritual syariah Islam, baik pada masa Rasulullah SAW.

Adat atau tradisi semacam ini adalah sah-sah saja dan tak masalah. Tentunya dengan catatan, adat atau tradisi tersebut tidak bertentangan dengan nilai-nilai luhur Islam, mempunyai tujuan mulia dan disertai niat ibadah karena Allah SWT. Dalam Kaidah fikih dikatakan, “al-Adah Muhakkamah ma lam yukhalif al-Syar'” (Tradisi itu diperbolehkan selama tidak bertentangan dengan dasar-dasar syariah).

Sahabat Abdullah bin Abbas mengatakan: Setiap sesuatu yang umat Islam menganggap baik, maka menurut Allah baik juga, dan yang mereka anggap buruk, maka buruk juga manurut Allah” (Diriwayatkan Al-Hakim)

Ia juga berpesan: Sesungguhnya Allah melihat hati hambanya, selalu ditemukan hati Muhammad SAW, sebaik-baiknya hati hambanya, lalu memilihnya untuk-Nya, dan mengutusnya. Lalu melihat hati hambanya selain Muhammad, dan ditemukan beberapa hati sahabatnya, lalu menjadikannya menteri bagi nadi-Nya. Setiap suatu yang umat Islam menganggap baik, maka menurut Allah baik juga, dan yang mereka anggap buruk, maka buruk juga menurut Allah” (Diriwayatkan oleh Ahmad)

Dalam Hasiyah as-Sanady disebutkan, “Bahwa sesungguhnya sesuatu yang mubah (tidak ada perintah dan tidak ada larangan) bisa menjadi amal ibadah selama disertai niat baik. Pelakunya mendapatkan imbalan pahala atas amal tersebut sebagaimana pahalanya orang-orang yang beribadah”. (Hasiyah as-Sanady, Jilid 4, hal.368)

Imam Syafi’i memberikan batasan ideal tentang adat atau tradisi ini, menurutnya, selama adat atau tradisi itu tidak bertentangan dengan dasar-dasar syariat, itu hal terpuji. Artinya, agama memperbolehkannya. Sebaliknya, jika adat atau tradisi tersebut bertentangan dengan dasar-dasar syariat, hal itu dilarang dalam Islam.

Menurut Imam Syafi’i yang dinukil oleh Baihaqi dalam kitabnya Manakip As Syafi’i lil Baihaqi: Hal baru (bid’ah) terbagi menjadi 2 (dua) macam. Adakalanya hal baru itu bertentangan dengan Al-Qur'an, as-Sunnah, al-Atsar, atau ijma Ulama. Itulah bid’ah yang tercela. Sedangkan hal baru yang tidak bertentangan dengan dasar-dasar agama tersebut adalah bid’ah yang terpuji. (Fathul Bari, karya Ibn Hajar, jilid 20, hal:330)


H Fadlolan Musyaffa’ Mu’thi, MA
Rais Syuriyah PCNU Mesir
http://www.nu.or.id

Candi

Kata "candi" mengacu pada berbagai macam bentuk dan fungsi bangunan, antara lain empat beribadah, pusat pengajaran agama, tempat menyimpan abu jenazah para raja, tempat pemujaan atau tempat bersemayam dewa, petirtaan (pemandian) dan gapura. Walaupun fungsinya bermacam-macam, secara umum fungsi candi tidak dapat dilepaskan dari kegiatan keagamaan, khususnya agama Hindu dan Buddha. Oleh karena itu, sejarah pembangunan candi sangat erat kaitannya dengan sejarah kerajaan-kerajaan dan perkembangan agama Hindu dan Buddha di Indonesia, terutama di Jawa, selama abad ke-7 sampai dengan abad ke-14.

Ajaran Hindu dan Buddha berasal dari negara India, sehingga bangunan candi banyak mendapat pengaruh India dalam berbagai aspeknya, seperti: teknik bangunan, gaya arsitektur, hiasan, dan sebagainya. Walaupun demikian, pengaruh kebudayaan dan kondisi alam setempat sangat kuat, sehingga arsitektur candi Indonesia mempunyai karakter tersendiri, baik dalam penggunaan bahan, teknik kontruksi maupun corak dekorasinya. Dinding candi biasanya diberi hiasan berupa relief yang mengandung ajaran atau cerita tertentu.

Dalam kitab Manasara disebutkan bahwa bentuk candi merupakan dasar dari seni bangunan gapura. Gapura sendiri bisa berfungsi sebagai petunjuk batas wilayah atau sebagai pintu keluar masuk yang terletak pada dinding pembatas sebuah komplek bangunan tertentu. Gapura mempunyai fungsi penting dalam sebuah kompleks bangunan, sehingga gapura juga nencerminkan keagungan dari bangunan yang dibatasinya. Perbedaan kedua bangunan tersebut terletak pada ruangannya. Candi mempunyai ruangan yang tertutup, sedangkan ruangan dalam gapura merupakan lorong yang berfungsi sebagai jalan keluar-masuk.

Beberapa kitab keagamaan di India, misalnya Manasara dan Sipa Prakasa, memuat aturan pembuatan gapura yang dipegang teguh oleh para seniman bangunan di India. Para seniman pada masa itu percaya bahwa ketentuan yang tercantum dalam kitab-kitab keagamaan bersifat suci dan magis. Mereka yakin bahwa pembuatan bangunan yang benar dan indah mempunyai arti tersendiri bagi pembuatnya dan penguasa yang memerintahkan membangun. Bangunan yang dibuat secara benar dan indah akan mendatangkan kesejahteraan dan kebahagiaan bagi masyarakat. Keyakinan tersebut membuat para seniman yang akan membuat gapura melakukan persiapan dan perencanaan yang matang, baik yang bersifat keagamaan maupun teknis.

Salah satu bagian terpenting dalam perencanaan teknis adalah pembuatan sketsa yang benar, karena dengan sketsa yang benar akan dihasilkan bangunan seperti yang diharapkan sang seniman. Pembuatan sketsa bangunan harus didasarkan pada aturan dan persyaratan tertentu, berkaitan dengan bentuk, ukuran, maupun tata letaknya. Apabila dalam pembuatan bangunan terjadi penyimpangan dari ketentuan-ketentuan dalam kitab keagamaan akan berakibat kesengsaraan besar bagi pembuatnya dan masyarakat di sekitarnya. Hal itu berarti bahwa ketentuan-ketentuan dalam kitab keagamaan tidak dapat diubah dengan semaunya. Namun, suatu kebudayaan, termasuk seni bangunan, tidak dapat lepas dari pengaruh keadaan alam dan budaya setempat, serta pengaruh waktu. Di samping setiap seniman mempunyai imajinasi dan kreatifitas yang berbeda.

Sampai saat ini candi masih banyak didapati di berbagai wilayah Indonesia, terutama di Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur dan Bali. Walaupun sebagian besar di antaranya tinggal reruntuhan, namun tidak sedikit yang masih utuh dan bahkan masih digunakan untuk melaksanakan upacara keagamaan. Sebagai hasil budaya manusia, keindahan dan keanggunan bangunan candi memberikan gambaran mengenai kebesaran kerajaan-kerajaan pada masa lampau.

Candi-candi Hindu di Indonesia umumnya dibangun oleh para raja pada masa hidupnya. Arca dewa, seperti Dewa Wishnu, Dewa Brahma, Dewi Tara, Dewi Durga, yang ditempatkan dalam candi merupakan perwujudan leluhurnya. Bahkan kadang-kadang sejarah raja yang bersangkutan dicantumkan dalam prasasti persembahan candi tersebut. Berbeda dengan candi-candi Hindu, candi-candi Buddha umumnya dibangun sebagai bentuk pengabdian kepada agama dan untuk mendapatkan ganjaran. Ajaran Buddha yang tercermin pada candi-candi di Jawa Tengah adalah Buddha Mahayana, yang masih dianut oleh umat Buddha di Indonesia sampai saat ini. Berbeda dengan aliran Buddha Hinayana yang dianut di Myanmar dan Thailand.

Dalam situs web ini, deskripsi mengenai candi di Indonesia dikelompokkan ke dalam: candi di Jawa Tengah dan Yogyakarta, candi di Jawa Timur candi di Bali dan candi di Sumatra. Walaupun pada masa sekarang Jawa Tengah dan Yogyakarta merupakan dua provinsi yang berbeda, namun dalam sejarahnya kedua wilayah tersebut dapat dikatakan berada di bawah kekuasaan Kerajaan Mataram Hindu, yang sangat besar peranannya dalam pembangunan candi di kedua provinsi tersebut. Pengelompokan candi di Jawa Tengah dan Yogyakarta berdasarkan wilayah administratifnya saat ini sulit dilakukan, namun, berdasarkan ciri-cirinya, candi-candi tersebut dapat dikelompokkan dalam candi-candi di wilayah utara dan candi-candi di wilayah selatan.

Candi-candi yang terletak di wilayah utara, yang umumnya dibangun oleh Wangsa Sanjaya, merupakan candi Hindu dengan bentuk bangunan yang sederhana, batur tanpa hiasan, dan dibangun dalam kelompok namun masing-masing berdiri sendiri serta tidak beraturan beraturan letaknya. Yang termasuk dalam kelompok ini, di antaranya: Candi Dieng dan Candi Gedongsanga. Candi di wilayah selatan, yang umumnya dibangun oleh Wangsa Syailendra, merupakan candi Buddha dengan bentuk bangunan yang indah dan sarat dengan hiasan. Candi di wilayah utara ini umumnya dibangun dalam kelompok dengan pola yang sama, yaitu candi induk yang terletak di tengah dikelilingi oleh barisan candi perwara. Yang termasuk dalam kelompok ini, di antaranya: Candi Prambanan, Candi Mendut, Candi Kalasan, Candi Sewu, dan Candi Borobudur.

Candi-candi di Jawa Timur umumnya usianya lebih muda dibandingkan yang terdapat di Jawa Tengah dan Yogyakarta, karena pembangunannya dilakukan di bawah pemerintahan kerajaan-kerajaan penerus kerajaan Mataram Hindu, seperti Kerajaan Kahuripan, Singasari, Kediri dan Majapahit. Bahan dasar, gaya bangunan, corak dan isi cerita relief candi-candi di Jawa Timur sangat beragam, tergantung pada masa pembangunannya. Misalnya, candi-candi yang dibangun pada masa Kerajaan Singasari umumnya dibuat dari batu andesit dan diwarnai oleh ajaran Tantrayana (Hindu-Buddha), sedangkan yang dibangun pada masa Kerajaan Majapahit umumnya dibuat dari bata merah dan lebih diwarnai oleh ajaran Buddha.

Candi-candi di Bali umumnya merupakan candi Hindu dan sebagian besar masih digunakan untuk pelaksanaan upacara keagamaan hingga saat ini. Di Pulau Sumatra terdapat 2 candi Buddha yang masih dapat ditemui, yaitu Candi Portibi di Provinsi Sumatra Utara dan Candi Muara Takus di Provinsi Riau.

Sebagian candi di Indonesia ditemukan dan dipugar pada awal abad ke-20. Pada tanggal 14 Juni 1913, pemerintah kolonial Belanda membentuk badan kepurbakalaan yang dinamakan Oudheidkundige Dienst (biasa disingkat OD), sehingga penanganan atas candi-candi di Indonesia menjadi lebih intensif. Situs web ini direncanakan akan memuat deskripsi seluruh candi yang ada di Indonesia, namun saat ini belum semua candi dapat terliput.

http://candi.pnri.go.id

Kerajaan Sriwijaya

Sriwijaya
Sriwijaya adalah kerajaan Melayu kuno di pulau Sumatra yang banyak berpengaruh di kepulauan Melayu. Bukti awal mengenai keberadaan kerajaan ini berasal dari abad ke-7; seorang pendeta Tiongkok, I-Tsing, menulis bahwa ia mengunjungi Sriwijaya tahun 671 selama 6 bulan. Prasasti pertama mengenai Sriwijaya juga berada pada abad ke-7, yaitu Prasasti Kedukan Bukit di Palembang, Sumatra, pada tahun 683.Kerajaan ini mulai jatuh pada tahun 1200 dan 1300 karena berbagai faktor, termasuk ekspansi kerajaan Majapahit. Dalam bahasa Sansekerta, sri berarti "bercahaya" dan wijaya berarti "kemenangan".

Setelah Sriwijaya jatuh, kerajaan ini terlupakan dan sejarawan tidak mengetahui keberadaan kerajaan ini. Eksistensi Sriwijaya diketahui secara resmi tahun 1918 oleh sejarawan Perancis George Coedès dari École française d'Extrême-Orient.[5] Sekitar tahun 1992 hingga 1993, Pierre-Yves Manguin membuktikan bahwa pusat Sriwijaya berada di Sungai Musi antara Bukit Seguntang dan Sabokingking (terletak di provinsi Sumatra Selatan, Indonesia).

Historiografi
Tidak terdapat catatan lebih lanjut mengenai Sriwijaya dalam sejarah Indonesia; masa lalunya yang terlupakan dibentuk kembali oleh sarjana asing. Tidak ada orang Indonesia modern yang mendengar mengenai Sriwijaya sampai tahun 1920-an, ketika sarjana Perancis George Coedès mempublikasikan penemuannya dalam koran berbahasa Belanda dan Indonesia. Coedès menyatakan bahwa referensi Tiongkok terhadap "Sanfoqi", sebelumnya dibaca "Sribhoja", dan prasasti dalam Melayu Kuno merujuk pada kekaisaran yang sama.

Sriwijaya menjadi simbol kebesaran Sumatra awal, dan kerajaan besar yang dapat mengimbangi Majapahit di timur. Pada abad ke-20, kedua kerajaan tersebut disebut sebagai suatu kesatuan negara Indonesia.

Sriwijaya disebut dengan berbagai macam nama. Orang Tionghoa menyebutnya Sanfotsi atau San Fo Qi. Dalam bahasa Sansekerta dan Pali, kerajaan Sriwijaya disebut Yavadesh dan Javadeh.[8] Bangsa Arab menyebutnya Zabag dan Khmer menyebutnya Melayu. Banyaknya nama merupakan alasan lain mengapa Sriwijaya sangat sulit ditemukan.

Berikut ini adalah beberapa sumber sejarah yang diketahui berkaitan dengan Sriwijaya:

Berbahasa Sanskerta atau Tamil
- Prasasti Ligor di Thailand
- Prasasti Kanton di Kanton
- Prasasti Siwagraha
- Prasasti Nalanda di India
- Piagam Leiden di India
- Prasasti Tanjor
- Piagam Grahi
- Prasasti Padang Roco
- Prasasti Srilangka

Sumber berita Tiongkok
- Kronik dari Dinasti Tang
- Kronik Dinasti Sung
- Kronik Dinasti Ming
- Kronik Perjalanan I Tsing
- Kronik Chu-fan-chi oleh Chau Ju-kua
- Kronik Tao Chih Lio oleh Wang Ta Yan
- Kronik Ling-wai Tai-ta oleh Chou Ku Fei
- Kronik Ying-yai Sheng-lan oleh Ma Huan

Prasasti berbahasa Melayu Kuno
- Prasasti Kedukan Bukit tanggal 16 Juni 682 Masehi di Palembang
- Prasasti Talang Tuo tanggal 23 Maret 684 Masehi di Palembang
- Prasasti Telaga Batu abad ke-7 Masehi di Palembang
- Prasasti Palas Pasemah abad ke-7 Masehi di Lampung Selatan
- Prasasti Karang Brahi abad ke-7 Masehi di Jambi
- Prasasti Kota Kapur tanggal 28 Februari 686 Masehi di P. Bangka
- Prasasti Sojomerto abad ke-7 Masehi di Pekalongan - Jawa Tengah

Pembentukan dan pertumbuhan
Tidak banyak bukti fisik mengenai Sriwijaya yang dapat ditemukan.[11] Menurut Prasasti Kedukan Bukit, kekaisaran Sriwijaya didirikan oleh Dapunta Hyang Çri Yacanaca (Dapunta Hyang Sri Jayanasa). Ia memimpin 20.000 tentara (terutama tentara darat dan beberapa ratus kapal) dari Minanga Tamwan ke Palembang, Jambi, dan Bengkulu.

Kerajaan ini adalah pusat perdagangan dan merupakan negara maritim. Negara ini tidak memperluas kekuasaannya diluar wilayah kepulauan Asia Tenggara, dengan pengecualian berkontribusi untuk populasi Madagaskar sejauh 3.300 mil di barat. Sekitar tahun 500, akar Sriwijaya mulai berkembang di wilayah sekitar Palembang, Sumatra. Kerajaan ini terdiri atas tiga zona utama - daerah ibukota muara yang berpusatkan Palembang, lembah Sungai Musi yang berfungsi sebagai daerah pendukung dan daerah-daerah muara saingan yang mampu menjadi pusat kekuasan saingan. Wilayah hulu sungai Musi kaya akan berbagai komoditas yang berharga untuk pedagang Tiongkok.[12] Ibukota diperintah secara langsung oleh penguasa, sementara daerah pendukung tetap diperintah oleh datu lokal.

Pengaruh budaya
SERI KERAJAAN NUSANTARASERI KERAJAAN NUSANTARAKerajaan Sriwijaya banyak dipengaruhi budaya India, pertama oleh budaya agama Hindu dan kemudian diikuti pula oleh agama Buddha. Agama Buddha diperkenalkan di Srivijaya pada tahun 425 Masehi. Sriwijaya merupakan pusat terpenting agama Buddha Mahayana. Raja-raja Sriwijaya menguasai kepulauan Melayu melewati perdagangan dan penaklukkan dari kurun abad ke-7 hingga abad ke-9.

Kerajaan Sriwijaya juga membantu menyebarkan kebudayaan Melayu ke seluruh Sumatra, Semenanjung Melayu, dan pulau Kalimantan bagian Barat.

Pada masa yang sama, agama Islam memasuki Sumatra melalui Aceh yang telah tersebar melalui hubungan dengan pedagang Arab dan India. Pada tahun 1414 pangeran terakhir Sriwijaya, Parameswara, memeluk agama Islam dan berhijrah ke Semenanjung Malaya dan mendirikan Kesultanan Melaka.

Agama Buddha aliran Buddha Hinayana dan Buddha Mahayana disebarkan di pelosok kepulauan nusantara dan Palembang menjadi pusat pembelajaran agama Buddha. Pada tahun 1017, 1025, dan 1068, Sriwijaya telah diserbu raja Chola dari kerajaan Colamandala(India) yang mengakibatkan hancurnya jalur perdagangan. Pada serangan kedua tahun 1025, raja Sri Sanggramawidjaja Tungadewa ditawan. Pada masa itu juga, Sriwijaya telah kehilangan monopoli atas lalu-lintas perdagangan Tiongkok-India. Akibatnya kemegahan Sriwijaya menurun. Kerajaan Singasari yang berada di bawah naungan Sriwijaya melepaskan diri. Pada tahun 1088, Kerajaan Melayu Jambi, yang dahulunya berada di bawah naungan Sriwijaya menjadikan Sriwijaya taklukannya. Kekuatan kerajaan Melayu Jambi berlangsung hingga dua abad sebelum akhirnya melemah. Berita bahwa kerajaan Melayu Jambi takluk kepada Majapahit hingga sekarang masih diragukan kebenarannya. Karena setelah kemundurannya wilayah sumatera bagian selatan merupakan daerah tanpa kekuasaan dan pusat bajak laut Selat Malaka.

Sumber :
1. ^ a b Munoz, Paul Michel (2006). Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula. Singapore: Editions Didier Millet, pages 171. ISBN 9814155675.
2. ^ Munoz. Early Kingdoms, p. 122.
3. ^ Zain, Sabri Sejarah Melayu, Buddhist Empires.
4. ^ Peter Bellwood, James J. Fox, Darrell Tryon The Austronesians: Historical and Comparative Perspectives.
5. ^ a b c Munoz. Early Kingdoms, p. 117.
6. ^ a b Taylor, Jean Gelman (2003). Indonesia: Peoples and Histories. New Haven and London: Yale University Press, pp. 8-9. ISBN 0-300-10518-5.
7. ^ Krom, N.J. (1938). "Het Hindoe-tijdperk", in F.W. Stapel: Geschiedenis van Nederlandsch Indië. Amsterdam: N.V. U.M. Joost van den Vondel, vol. I p. 149.
8. ^ a b c d Munoz. Early Kingdoms, p. 114.
9. ^ Munoz. Early Kingdoms, hal. 102.
10. ^ Krom, N.J. (1943). Het oude Java en zijn kunst, 2nd ed., Haarlem: Erven F. Bohn N.V., p. 12.
11. ^ Taylor. Indonesia, hal. 29.
12. ^ Munoz. Early Kingdoms, p. 113.

Candi Borobudur

Untuk sekadar mengingatkan kembali bagaimana pentingnya kita menghargai sejarah dan benda-benda peninggalan berupa artefak-artefak, candi, prasasti, atau yang lainnya, marilah kita melihat bagaimana Candi Borobudur direkonstruksi sehingga menjadi bangunan yang megah dan termasuk tujuh keajaiban dunia. Untuk mengawalinya kita perlu melihat bagaimana nama dan Candi Borobudur diketahui.
Hutan belakar
Sekira tiga ratus tahun lampau, tempat candi ini berada masih berupa hutan belukar yang oleh penduduk sekitarnya disebut Redi Borobudur. Untuk pertama kalinya, nama Borobudur diketahui dari naskah Negarakertagama karya Mpu Prapanca pada tahun 1365 Masehi, disebutkan tentang biara di Budur. Kemudian pada Naskah Babad Tanah Jawi (1709-1710) ada berita tentang Mas Dana, seorang pemberontak terhadap Raja Paku Buwono I, yang tertangkap di Redi Borobudur dan dijatuhi hukuman mati. Kemudian pada tahun 1758, tercetus berita tentang seorang pangeran dari Yogyakarta, yakni Pangeran Monconagoro, yang berminat melihat arca seorang ksatria yang terkurung dalam sangkar. Kemudian pada tahun 1814, Thomas Stamford Raffles mendapat berita dari bawahannya tentang adanya bukit yang dipenuhi dengan batu-batu berukir. Berdasarkan berita itu Raffles mengutus Cornelius, seorang pengagum seni dan sejarah, untuk membersihkan bukit itu. Setelah dibersihkan selama dua bulan dengan bantuan 200 orang penduduk, bangunan candi semakin jelas dan pemugaran dilanjutkan pada 1825.
Pada 1834, Residen Kedu membersihkan candi lagi, dan tahun 1842 stupa candi ditinjau untuk penelitian lebih lanjut.

Mengenai nama Borobudur sendiri banyak ahli purbakala yang menafsirkannya, di antaranya Prof. Dr. Poerbotjoroko menerangkan bahwa kata Borobudur berasal dari dua kata Bhoro dan Budur. Bhoro berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti bihara atau asrama, sedangkan kata Budur merujuk pada nama tempat. Pendapat ini dikuatkan oleh Prof. Dr. WF. Stutterheim yang berpendapat bahwa Borobudur berarti Bihara di atas sebuah bukit. Sedangkan Prof. JG. De Casparis mendasarkan pada Prasasti Karang Tengah yang menyebutkan tahun pendirian bangunan ini, yaitu Tahun Sangkala: rasa sagara kstidhara, atau tahun Caka 746 (824 Masehi), atau pada masa Wangsa Syailendra yang mengagungkan Dewa Indra. Dalam prasasti didapatlah nama Bhumisambharabhudhara yang berarti tempat pemujaan para nenek moyang bagi arwah-arwah leluhurnya.
Bagaimana pergeseran kata itu terjadi menjadi Borobudur? Hal ini terjadi karena faktor pengucapan masyarakat setempat.

Dalam pelajaran sejarah, disebutkan bahwa candi Borobudur dibuat pada masa Wangsa Syailendra yang Buddhis di bawah kepemimpinan Raja Samarotthungga. Sedangkan yang menciptakan candi, berdasarkan tuturan masyarakat bernama Gunadharma. Pembangunan candi itu selesai pada tahun 847 M. Menurut prasasti Kulrak (784M) pembuatan candi ini dibantu oleh seorang guru dari Ghandadwipa (Bengalore) bernama Kumaragacya yang sangat dihormati, dan seorang pangeran dari Kashmir bernama Visvawarman sebagai penasihat yang ahli dalam ajaran Buddis Tantra Vajrayana. Pembangunan candi ini dimulai pada masa Maha Raja Dananjaya yang bergelar Sri Sanggramadananjaya, dilanjutkan oleh putranya, Samarotthungga, dan oleh cucu perempuannya, Dyah Ayu Pramodhawardhani.
Sebelum dipugar, Candi Borobudur berupa reruntuhan seperti halnya artefak-artefak candi yang baru ditemukan sekarang ini. Ketika kita mengunjungi Borobudur dan menikmati keindahan alam sekitarnya dari atas puncak candi, kadang kita tidak pernah berpikir tentang siapa yang berjasa membangun kembali Candi Borobudur menjadi bangunan yang megah dan menjadi kekayaan bangsa Indonesia ini.

Pemugaran selanjutnya, setelah oleh Cornelius pada masa Raffles maupun Residen Hatmann, dilakukan pada 1907-1911 oleh Theodorus van Erp yang membangun kembali susunan bentuk candi dari reruntuhan karena dimakan zaman sampai kepada bentuk sekarang. Van Erp sebetulnya seorang ahli teknik bangunan Genie Militer dengan pangkat letnan satu, tetapi kemudian tertarik untuk meneliti dan mempelajari seluk-beluk Candi Borobudur, mulai falsafahnya sampai kepada ajaran-ajaran yang dikandungnya. Untuk itu dia mencoba melakukan studi banding selama beberapa tahun di India. Ia juga pergi ke Sri Langka untuk melihat susunan bangunan puncak stupa Sanchi di Kandy, sampai akhirnya van Erp menemukan bentuk Candi Borobudur. Sedangkan mengenai landasan falsafah dan agamanya ditemukan oleh Stutterheim dan NJ. Krom, yakni tentang ajaran Buddha Dharma dengan aliran Mahayana-Yogacara dan ada kecenderungan pula bercampur dengan aliran Tantrayana-Vajrayana. Oleh sebab itu, para pemugar harus memiliki sekelumit sejarah agama ini di Indonesia. Penelitian terhadap susunan bangunan candi dan falsafah yang dibawanya tentunya membutuhkan waktu yang tidak sedikit, apalagi kalau dihubung-hubungkan dengan bangunan-bangunan candi lainnya yang masih satu rumpun. Seperti halnya antara Candi Borobudur dengan Candi Pawon dan Candi Mendut yang secara geografis berada pada satu jalur.

Materi candi
Candi Borobudur merupakan candi terbesar kedua setelah Candi Ankor Wat di Kamboja. Borobudur mirip bangunan piramida Cheops di Gizeh Mesir. Luas bangunan Candi Borobudur 15.129 m2 yang tersusun dari 55.000 m3 batu, dari 2 juta potongan batu-batuan. Ukuran batu rata-rata 25 cm X 10 cm X 15 cm. Panjang potongan batu secara keseluruhan 500 km dengan berat keseluruhan batu 1,3 juta ton. Dinding-dinding Candi Borobudur dikelilingi oleh gambar-gambar atau relief yang merupakan satu rangkaian cerita yang terususun dalam 1.460 panel. Panjang panel masing-masing 2 meter. Jadi kalau rangkaian relief itu dibentangkan maka kurang lebih panjang relief seluruhnya 3 km. Jumlah tingkat ada sepuluh, tingkat 1-6 berbentuk bujur sangkar, sedangkan tingkat 7-10 berbentuk bundar. Arca yang terdapat di seluruh bangunan candi berjumlah 504 buah. Sedangkan, tinggi candi dari permukaan tanah sampai ujung stupa induk dulunya 42 meter, namun sekarang tinggal 34,5 meter setelah tersambar petir.

Menurut hasil penyelidikan seorang antropolog-etnolog Austria, Robert von Heine Geldern, nenek moyang bangsa Indonesia sudah mengenal tata budaya pada zaman Neolithic dan Megalithic yang berasal dari Vietnam Selatan dan Kamboja. Pada zaman Megalithic itu nenek moyang bangsa Indonesia membuat makam leluhurnya sekaligus tempat pemujaan berupa bangunan piramida bersusun, semakin ke atas semakin kecil. Salah satunya yang ditemukan di Lebak Sibedug Leuwiliang Bogor Jawa Barat. Bangunan serupa juga terdapat di Candi Sukuh di dekat Solo, juga Candi Borobudur. Kalau kita lihat dari kejauhan, Borobudur akan tampak seperti susunan bangunan berundak atau semacam piramida dan sebuah stupa.

Berbeda dengan piramida raksasa di Mesir dan Piramida Teotihuacan di Meksiko Candi Borobudur merupakan versi lain bangunan piramida. Piramida Borobudur berupa kepunden berundak yang tidak akan ditemukan di daerah dan negara manapun, termasuk di India. Dan itulah salah satu kelebihan Candi Borobudur yang merupakan kekhasan arsitektur Budhis di Indonesia.

Melihat kemegahan bangunan Candi Borobudur saat ini dan candi-candi lainnya di Indonesia telah memberikan pengetahuan yang besar tentang peradaban bangsa Indonesia. Berbagai ilmu pengetahuan terlibat dalam usaha rekonstruksi Candi Borobudur yang dilakukan oleh Teodhorus van Erp. Kita patut menghargai usaha-usahanya mengingat berbagai kendala dan kesulitan yang dihadapi dalam membangun kembali candi ini.

Sampai saat ini ada beberapa hal yang masih menjadi bahan misteri seputar berdirinya Candi Borobudur, misalnya dalam hal susunan batu, cara mengangkut batu dari daerah asal sampai ke tempat tujuan, apakah batu-batu itu sudah dalam ukuran yang dikehendaki atau masih berupa bentuk asli batu gunung, berapa lama proses pemotongan batu-batu itu sampai pada ukuran yang dikehendaki, bagaimana cara menaikan batu-batu itu dari dasar halaman candi sampai ke puncak, alat derek apakah yang dipergunakan? Mengingat pada masa itu belum ada gambar biru (blue print), lalu dengan sarana apakah mereka itu kalau hendak merundingkan langkah-langkah pengerjaan yang harus dilakukan, dalam hal gambar relief, apakah batu-batu itu sesudah bergambar lalu dipasang, atau batu dalam keadaan polos baru dipahat untuk digambar. Dan mulai dari bagian mana gambar itu dipahat, dari atas ke bawah atau dari bawah ke atas? Dan masih banyak lagi misteri yang belum terungkap secara ilmu pengetahuan, terutama tentang ditemukannya ruang pada stupa induk candi.
Restorasi di tahun 1974-1983


Harta karun
Pemugaran selanjutnya dilakukan pada tahun 1973-1983, selang 70 tahun dari pemugaran yang dilakukan van Erp. Pemugaran ini dimaksudkan tiada lain sebagai upaya melestarikan budaya yang tak ternilai harganya. Inilah "harta karun" yang sesungguhnya tak bisa dihargai dengan uang apalagi dijual untuk membayar utang. Kesadaran masyarakat untuk ikut mengamankan bangunan candi sangat diharapkan termasuk juga dari para wisatawan.
Penggalian, penelitian, dan rencana pemugaran terhadap candi-candi atau benda-benda bersejarah lainnya yang baru-baru ini ditemukan tentunya membutuhkan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Pemugaran bangunan budaya dan kepurbakalaan tidak semudah pembangunan gedung modern. Setiap bentuk bangunan budaya memiliki makna yang khusus dan hal ini tidak dapat diabaikan di dalam pemugaran bangunan kuno tersebut. Oleh sebab itu butuh dukungan dari berbagai pihak, baik dari dalam maupun dari luar negeri. Upaya membangun kembali sebuah simbol-simbol peradaban yang pernah hilang berarti semakin membuka mata-hati kita tentang sejarah peradaban manusia Indonesia yang kaya dengan ilmu pengetahuan dan budaya. Dengan demikian, kita akan menjadi manusia berbudaya yang mampu menghargai budayanya sendiri sebagai bentuk jati diri dan identitas bangsa yang mandiri.

Akhirnya, kita harus membangkitkan kembali gairah menghargai benda-benda cagar budaya yang bukan hanya menjadi kekayaan masyarakat dan bangsa, melainkan juga menjadi kekayaan ilmu pengetahuan yang akan terus mengungkap fakta-fakta sejarah itu. Menikmati keindahan dan menjaga kelestariannya merupakan salah satu bentuk kepedulian yang sangat berarti. Tentunya peran lembaga yang berkaitan dengan perlindungan benda-benda cagar budaya perlu ditingkatkan dengan memberikan pemahaman, pengertian dan sosialisasi tentang pentingnya menjaga dan melestarikan benda-benda tersebut.

Perlindungan hukum pun harus ditegakkan secara konsisten sehingga tidak terjadi lagi kepincangan-kepincangan hukum yang menyisakan rasa ketidakadilan bagi masyarakat, seperti halnya kasus peledakan Candi Borobudur pada 1983.***
Tetap menjadi suatu misteri,sekedar tambahan candi Borobudur adalah candi Buddha terbesar di dunia dengan tinggi 34,5 meter dan luas bangunan 123 x 123 meter. Di dirikan di atas sebuah bukit yang terletak kira-kira 40 km di barat daya Yogyakarta, 7 km di selatan Magelang, Jawa Tengah.

Candi Borobudur dibangun oleh Dinasti Sailendra antara tahun 750 dan 842 Masehi. Candi Buddha ini kemungkinan besar ditinggalkan sekitar satu abad setalah dibangun karena pusat kerajaan pada waktu itu berpindah ke Jawa Timur.
Sir Thomas Stanford Raffles menemukan Borobudur pada tahun 1814 dalam kondisi rusak dan memerintahkan supaya situs tersebut dibersihkan dan dipelajari secara menyeluruh. Proyek restorasi Borobudur secara besar-besaran kemudian dimulai dari tahun 1905 sampai tahun 1910 dipimpin oleh Dr. Tb. van Erp. Dengan bantuan dari UNESCO, restorasi kedua untuk menyelamatkan Borobudur dilaksanakan dari bulan Agustus 1913 sampai tahun 1983.

Namun, sampai sekarang Candi Borobudur masih menyimpan sejumlah misteri. Sejumlah misteri itu misalnya, siapa yang merancang Candi Borobudur, berapa jumlah orang dipekerjakan untuk membangun candi tersebut, dari mana saja batu untuk membangun candi ? Filosofi apa yang digunakan untuk membuat candi tersebut ? Tetapi yang pasti candi ini merupakan aset penting bagi Indonesia di mata dunia internasional. Kita harus bangga dan selalu menjaga kelestariannya.

Kerajaan Majapahit

Majapahit adalah sebuah kerajaan kuno di Indonesia yang pernah berdiri dari sekitar tahun 1293 hingga 1500 M. Kerajaan ini mencapai puncak kejayaannya pada masa kekuasaan Hayam Wuruk, yang berkuasa dari tahun 1350 hingga 1389. Majapahit menguasai kerajaan-kerajaan lainnya di semenanjung Malaya, Borneo, Sumatra, Bali, dan Filipina

Kerajaan Majapahit adalah kerajaan Hindu terakhir di semenanjung Malaya dan dianggap sebagai salah satu dari negara terbesar dalam sejarah Indonesia.[2] Kekuasaannya terbentang di Sumatra, semenanjung Malaya, Borneo dan Indonesia timur, meskipun wilayah kekuasaannya masih diperdebatkan.


Historiografi

Hanya terdapat sedikit bukti fisik sisa-sisa Majapahit, dan sejarahnya tidak jelas. Sumber utama yang digunakan oleh para sejarawan adalah Pararaton ('Kitab Raja-raja') dalam bahasa Kawi dan Nagarakretagama dalam bahasa Jawa Kuno. Pararaton terutama menceritakan Ken Arok (pendiri Kerajaan Singhasari) namun juga memuat beberapa bagian pendek mengenai terbentuknya Majapahit. Sementara itu, Nagarakertagama merupakan puisi Jawa Kuno yang ditulis pada masa keemasan Majapahit di bawah pemerintahan Hayam Wuruk. Setelah masa itu, hal yang terjadi tidaklah jelas. Selain itu, terdapat beberapa prasasti dalam bahasa Jawa Kuno maupun catatan sejarah dari Tiongkok dan negara-negara lain.

Keakuratan semua naskah berbahasa Jawa tersebut dipertentangkan. Tidak dapat disangkal bahwa sumber-sumber itu memuat unsur non-historis dan mitos. Beberapa sarjana seperti C. C. Berg menganggap semua naskah tersebut bukan catatan masa lalu, tetapi memiliki arti supernatural dalam hal dapat mengetahui masa depan. Namun demikian, kebanyakan sarjana tidak menerima pandangan ini karena garis besar sumber-sumber tersebut sejalan dengan catatan sejarah dari Tiongkok. Khususnya, daftar penguasa dan keadaan kerajaan ini tampak cukup pasti.


Sejarah
Berdirinya Majapahit
Arca Harihara, dewa gabungan Siwa dan Wisnu sebagai penggambaran Kertarajasa. Berlokasi semula di Candi Simping, Blitar, kini menjadi koleksi Museum Nasional Republik Indonesia.
Arca Harihara, dewa gabungan Siwa dan Wisnu sebagai penggambaran Kertarajasa. Berlokasi semula di Candi Simping, Blitar, kini menjadi koleksi Museum Nasional Republik Indonesia.

Sesudah Singhasari mengusir Sriwijaya dari Jawa secara keseluruhan pada tahun 1290, Singhasari menjadi kerajaan paling kuat di wilayah tersebut. Hal ini menjadi perhatian Kubilai Khan, penguasa Dinasti Yuan di Tiongkok. Ia mengirim utusan yang bernama Meng Chi ke Singhasari yang menuntut upeti. Kertanagara, penguasa kerajaan Singhasari yang terakhir, menolak untuk membayar upeti dan mempermalukan utusan tersebut dengan merusak wajahnya dan memotong telinganya. Kublai Khan marah dan lalu memberangkatkan ekspedisi besar ke Jawa tahun 1293.

Ketika itu, Jayakatwang, adipati Kediri, sudah membunuh Kertanagara. Atas saran Aria Wiraraja, Jayakatwang memberikan pengampunan kepada Raden Wijaya, menantu Kertanegara, yang datang menyerahkan diri. Raden Wijaya kemudian diberi hutan Tarik. Ia membuka hutan itu dan membangun desa baru. Desa itu dinamai Majapahit, yang namanya diambil dari buah maja, dan rasa "pahit" dari buah tersebut. Ketika pasukan Mongolia tiba, Wijaya bersekutu dengan pasukan Mongolia untuk bertempur melawan Jayakatwang. Raden Wijaya berbalik menyerang sekutu Mongolnya sehingga memaksa mereka menarik pulang kembali pasukannya secara kalang-kabut karena mereka berada di teritori asing. Saat itu juga merupakan kesempatan terakhir mereka untuk menangkap angin muson agar dapat pulang, atau mereka harus terpaksa menunggu enam bulan lagi di pulau yang asing.

Tanggal pasti yang digunakan sebagai tanggal kelahiran kerajaan Majapahit adalah hari penobatan Raden Wijaya sebagai raja, yaitu pada tanggal 10 November 1293. Ia dinobatkan dengan nama resmi Kertarajasa Jayawardhana. Kerajaan ini menghadapi masalah. Beberapa orang terpercaya Kertarajasa, termasuk Ranggalawe, Sora, dan Nambi memberontak melawannya, meskipun pemberontakan tersebut tidak berhasil. Diduga bahwa mahapatih Halayudha melakukan konspirasi untuk menjatuhkan semua musuh raja agar ia dapat mencapai posisi tertinggi dalam pemerintahan. Namun, setelah kematian pemberontak terakhir (Kuti), Halayudha ditangkap dan dipenjara, dan lalu dihukum mati. Wijaya meninggal dunia pada tahun 1309.

Anak dan penerus Wijaya, Jayanegara, adalah penguasa yang jahat dan amoral. Ia digelari Kala Gemet, yang berarti "penjahat lemah". Pada tahun 1328, Jayanegara dibunuh oleh tabibnya, Tantja. Ibu tirinya, Gayatri Rajapatni, seharusnya menggantikannya, tetapi Rajapatni pensiun dari istana dan menjadi biksuni (pendeta Buddha wanita). Rajapatni menunjuk anak perempuannya, Tribhuwana Wijayatunggadewi, menjadi ratu Majapahit. Selama kekuasaan Tribhuwana, kerajaan Majapahit berkembang menjadi lebih besar dan terkenal di daerah tersebut. Tribhuwana menguasai Majapahit sampai kematian ibunya pada tahun 1350. Ia diteruskan oleh putranya, Hayam Wuruk.

Kejayaan Majapahit
Hayam Wuruk, juga disebut Rajasanagara, memerintah Majapahit dari tahun 1350 hingga 1389. Pada masanya, Majapahit mencapai puncak kejayaannya dengan bantuan mahapatihnya, Gajah Mada. Dibawah perintah Gajah Mada (1313–1364), Majapahit menguasai lebih banyak wilayah. Pada tahun 1377, beberapa tahun setelah kematian Gajah Mada, Majapahit melancarkan serangan laut ke Palembang,[2] menyebabkan runtuhnya kerajana Sriwijaya. Jendral terkenal Gajah Mada lainnya adalah Adityawarman, yang terkenal karena penaklukannya di Minangkabau.

Menurut Kakimpoi Nagarakretagama pupuh XIII-XV, daerah kekuasaan Majapahit meliputi Sumatra, semenanjung Malaya, Borneo, Sulawesi, kepulauan Nusa Tenggara, Maluku, Papua, dan sebagian kepulauan Filipina. Namun demikian, batasan alam dan ekonomi menunjukkan bahwa daerah-daerah kekuasaan tersebut tampaknya tidaklah berada di bawah kekuasaan terpusat Majapahit, tetapi terhubungkan satu sama lain oleh perdagangan yang mungkin berupa monopoli oleh raja. Majapahit juga memiliki hubungan dengan Campa, Kamboja, Siam, Birma bagian selatan, dan Vietnam, dan bahkan mengirim duta-dutanya ke China.


Jatuhnya Majapahit
Sesudah mencapai puncaknya pada abad ke-14, kekuasaan Majapahit berangsur-angsur melemah. Tampaknya terjadi perang saudara (Perang Paregreg) pada tahun 1405-1406, antara Wirabhumi melawan Wikramawardhana. Demikian pula telah terjadi pergantian raja yang dipertengkarkan pada tahun 1450-an, dan pemberontakan besar yang dilancarkan oleh seorang bangsawan pada tahun 1468.

Dalam tradisi Jawa ada sebuah kronogram atau candrasengkala yang berbunyi sirna ilang kretaning bumi. Sengkala ini konon adalah tahun berakhirnya Majapahit dan harus dibaca sebagai 0041, yaitu tahun 1400 Saka, atau 1478 Masehi. Arti sengkala ini adalah “sirna hilanglah kemakmuran bumi”. Namun demikian, yang sebenarnya digambarkan oleh candrasengkala tersebut adalah gugurnya Bre Kertabumi, raja ke-11 Majapahit, oleh Girindrawardhana.

Ketika Majapahit didirikan, pedagang Muslim dan para penyebar agama sudah mulai memasuki nusantara. Pada akhir abad ke-14 dan awal abad ke-15, pengaruh Majapahit di seluruh nusantara mulai berkurang. Pada saat bersamaan, sebuah kerajaan perdagangan baru yang berdasarkan agama Islam, yaitu Kesultanan Malaka, mulai muncul di bagian barat nusantara[16].

Catatan sejarah dari China, Portugis, dan Italia mengindikasikan bahwa telah terjadi perpindahan kekuasaan Majapahit dari tangan penguasa Hindu ke tangan Adipati Unus, penguasa dari Kesultanan Demak, antara tahun 1518 dan 1521 M[15].

Kebudayaan
Gapura Bajangratu, diduga kuat menjadi gerbang masuk keraton Majapahit. Bangunan ini masih tegak berdiri di kompleks Trowulan.


Ibu kota Majapahit di Trowulan merupakan kota besar dan terkenal dengan perayaan besar keagamaan yang diselenggarakan setiap tahun. Agama Buddha, Siwa, dan Waisnawa (pemuja Wisnu) dipeluk oleh penduduk Majapahit, dan raja dianggap sekaligus titisan Buddha, Siwa, maupun Wisnu. Nagarakertagama tidak menyebut keberadaan Islam, namun tampaknya ada anggota keluarga istana yang beragama Islam pada waktu itu.

Walaupun batu bata telah digunakan dalam candi pada masa sebelumnya, arsitek Majapahitlah yang paling ahli menggunakannya. Candi-candi Majapahit berkualitas baik secara geometris dengan memanfaatkan getah pohon anggur dan gula merah sebagai perekat batu bata. Contoh candi Majapahit yang masih dapat ditemui sekarang adalah Candi Tikus dan Candi Bajangratu di Trowulan, Mojokerto.

Ekonomi
Majapahit merupakan negara agraris dan sekaligus negara perdagangan[14]. Majapahit memiliki pejabat sendiri untuk mengurusi pedagang dari India dan Tiongkok yang menetap di ibu kota kerajaan maupun berbagai tempat lain di wilayah Majapahit di Jawa[18].

Menurut catatan Wang Ta-yuan, pedagang Tiongkok, komoditas ekspor Jawa pada saat itu ialah lada, garam, kain, dan burung kakak tua, sedangkan komoditas impornya adalah mutiara, emas, perak, sutra, barang keramik, dan barang dari besi. Mata uangnya dibuat dari campuran perak, timah putih, timah hitam, dan tembaga. Selain itu, catatan Odorico da Pordenone, biarawan Katolik Roma dari Italia yang mengunjungi Jawa pada tahun 1321, menyebutkan bahwa istana raja Jawa penuh dengan perhiasan emas, perak, dan permata.

Struktur pemerintahan
Majapahit memiliki struktur pemerintahan dan susunan birokrasi yang teratur pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, dan tampaknya struktur dan birokrasi tersebut tidak banyak berubah selama perkembangan sejarahnya. Raja dianggap sebagai penjelmaan dewa di dunia dan ia memegang otoritas politik tertinggi.

Aparat birokrasi
Raja dibantu oleh sejumlah pejabat birokrasi dalam melaksanakan pemerintahan, dengan para putra dan kerabat dekat raja memiliki kedudukan tinggi. Perintah raja biasanya diturunkan kepada pejabat-pejabat di bawahnya, antara lain yaitu:

* Rakryan Mahamantri Katrini, biasanya dijabat putra-putra raja
* Rakryan Mantri ri Pakira-kiran, dewan menteri yang melaksanakan pemerintahan
* Dharmmadhyaksa, para pejabat hukum keagamaan
* Dharmma-upapatti, para pejabat keagamaan

Dalam Rakryan Mantri ri Pakira-kiran terdapat seorang pejabat yang terpenting yaitu Rakryan Mapatih atau Patih Hamangkubhumi. Pejabat ini dapat dikatakan sebagai perdana menteri yang bersama-sama raja dapat ikut melaksanakan kebijaksanaan pemerintahan. Selain itu, terdapat pula semacam dewan pertimbangan kerajaan yang anggotanya para sanak saudara raja, yang disebut Bhattara Saptaprabhu.

Pembagian wilayah
Di bawah raja Majapahit terdapat pula sejumlah raja daerah, yang disebut Paduka Bhattara. Mereka biasanya merupakan saudara atau kerabat dekat raja dan bertugas dalam mengumpulkan penghasilan kerajaan, penyerahan upeti, dan pertahanan kerajaan di wilayahnya masing-masing. Dalam Prasasti Wingun Pitu (1447 M) disebutkan bahwa pemerintahan Majapahit dibagi menjadi 14 daerah bawahan, yang dipimpin oleh seseorang yang bergelar Bhre. Daerah-daerah bawahan tersebut yaitu:

* Daha
* Jagaraga
* Kabalan
* Kahuripan
* Keling
* Kelinggapura
* Kembang Jenar
* Matahun
* Pajang
* Singhapura
* Tanjungpura
* Tumapel
* Wengker
* Wirabumi


Raja-raja Majapahit

Berikut adalah daftar penguasa Majapahit. Perhatikan bahwa terdapat periode kekosongan antara pemerintahan Rajasawardhana (penguasa ke-8) dan Girishawardhana yang mungkin diakibatkan oleh krisis suksesi yang memecahkan keluarga kerajaan Majapahit menjadi dua kelompok.

1. Raden Wijaya, bergelar Kertarajasa Jayawardhana (1293 - 1309)
2. Kalagamet, bergelar Sri Jayanagara (1309 - 1328)
3. Sri Gitarja, bergelar Tribhuwana Wijayatunggadewi (1328 - 1350)
4. Hayam Wuruk, bergelar Sri Rajasanagara (1350 - 1389)
5. Wikramawardhana (1389 - 1429)
6. Suhita (1429 - 1447)
7. Kertawijaya, bergelar Brawijaya I (1447 - 1451)
8. Rajasawardhana, bergelar Brawijaya II (1451 - 1453)
9. Purwawisesa atau Girishawardhana, bergelar Brawijaya III (1456 - 1466)
10. Pandanalas, atau Suraprabhawa, bergelar Brawijaya IV (1466 - 1468)
11. Kertabumi, bergelar Brawijaya V (1468 - 1478)
12. Girindrawardhana, bergelar Brawijaya VI (1478 - 1498)
13. Hudhara, bergelar Brawijaya VII (1498-1518)[23]

Majapahit telah menjadi sumber inspirasi kejayaan masa lalu bagi bangsa Indonesia pada abad-abad berikutnya. Kesultanan-kesultanan Islam Demak, Pajang, dan Mataram berusaha mendapatkan legitimasi atas kekuasaan mereka melalui hubungan ke Majapahit. Demak menyatakan legitimasi keturunannya melalui Kertabhumi; pendirinya, Raden Patah, menurut babad-babad keraton Demak dinyatakan sebagai anak Kertabhumi dan seorang Putri Cina, yang dikirim ke luar istana sebelum ia melahirkan. Penaklukan Mataram atas Wirasaba tahun 1615 yang dipimpin langsung oleh Sultan Agung sendiri memiliki arti penting karena merupakan lokasi ibukota Majapahit. Keraton-keraton Jawa Tengah memiliki tradisi dan silsilah yang berusaha membuktikan hubungan para rajanya dengan keluarga kerajaan Majapahit — sering kali dalam bentuk makam leluhur, yang di Jawa merupakan bukti penting — dan legitimasi dianggap meningkat melalui hubungan tersebut. Bali secara khusus mendapat pengaruh besar dari Majapahit, dan masyarakat Bali menganggap diri mereka penerus sejati kebudayaan Majapahit.

Para penggerak nasionalisme Indonesia modern, termasuk mereka yang terlibat Gerakan Kebangkitan Nasional di awal abad ke-20, telah merujuk pada Majapahit sebagai contoh gemilang masa lalu Indonesia. Majapahit kadang dijadikan acuan batas politik negara Republik Indonesia saat ini. Dalam propaganda yang dijalankan tahun 1920-an, Partai Komunis Indonesia menyampaikan visinya tentang masyarakat tanpa kelas sebagai penjelmaan kembali dari Majapahit yang diromantiskan.[24]Sukarno juga mengangkat Majapahit untuk kepentingan persatuan bangsa, sedangkan Orde Baru menggunakannya untuk kepentingan perluasan dan konsolidasi kekuasaan negara. Sebagaimana Majapahit, negara Indonesia modern meliputi wilayah yang luas dan secara politik berpusat di pulau Jawa.

Majapahit memiliki pengaruh yang nyata dan berkelanjutan dalam bidang arsitektur di Indonesia. Penggambaran bentuk paviliun (pendopo) berbagai bangunan di ibukota Majapahit dalam kitab Negarakretagama telah menjadi inspirasi bagi arsitektur berbagai bangunan keraton di Jawa serta Pura dan kompleks perumahan masyarakat di Bali masa kini.

Sumber :Referensi

1. ^ D.G.E. Hall (1956). "Problems of Indonesian Historiography". Pacific Affairs 38 (3/4): 353—359.
2. ^ a b c Ricklefs (1991), halaman 19
3. ^ Prapantja, Rakawi, trans. by Theodore Gauthier Pigeaud, Java in the 14th Century, A Study in Cultural History: The Negara-Kertagama by Pakawi Parakanca of Majapahit, 1365 AD (The Hague, Martinus Nijhoff, 1962), vol. 4, p. 29. 34; G.J. Resink, Indonesia’s History Between the Myths: Essays in Legal History and Historical Theory (The Hague: W. van Hoeve, 1968), hal. 21.

Kerajaan Kalingga

Kalingga adalah sebuah kerajaan bercorak Hindu di Jawa Tengah, yang pusatnya berada di daerah Kabupaten Jepara sekarang. Kalingga telah ada pada abad ke-6 Masehi dan keberadaannya diketahui dari sumber-sumber Tiongkok. Kerajaan ini pernah diperintah oleh Ratu Shima, yang dikenal memiliki peraturan barang siapa yang mencuri, akan dipotong tangannya.

Putri Maharani Shima, PARWATI, menikah dengan putera mahkota Kerajaan Galuh yang bernama MANDIMINYAK, yang kemudian menjadi raja ke 2 dari Kerajaan Galuh.

Maharani Shima memiliki cucu yang bernama SANAHA yang menikah dengan raja ke 3 dari Kerajaan Galuh, yaitu BRATASENAWA. Sanaha dan Bratasenawa memiliki anak yang bernama SANJAYA yang kelak menjadi raja Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh (723-732M).

Setelah Maharani Shima mangkat di tahun 732M, Sanjaya menggantikan buyutnya dan menjadi raja Kerajaan KALINGGA UTARA yang kemudian disebut BUMI MATARAM, dan kemudian mendirikan Dinasti / Wangsa Sanjaya di Kerajaan Mataram Kuno.

Kekuasaan di Jawa Barat diserahkannya kepada putranya dari TEJAKENCANA, yaitu TAMPERAN BARMAWIJAYA alias RAKEYAN PANARABAN.

Kemudian Raja Sanjaya menikahi Sudiwara puteri Dewasinga, Raja KALINGGA SELATAN atau BUMI SAMBARA, dan memiliki putra yaitu RAKAI PANANGKARAN.
havana is offline QUOTE
havana
View Public Profile
Find More Posts by havana

Kerajaan Sunda

Wilayah bekas Kerajaan Sunda

Karajaan Sunda (669-1579 M), menurut naskah Wangsakerta merupakan kerajaan yang berdiri menggantikan kerajaan Tarumanagara. Kerajaan Sunda didirikan oleh Tarusbawa pada tahun 591 Caka Sunda (669 M). Menurut sumber sejarah primer yang berasal dari abad ke-16, kerajaan ini merupakan suatu kerajaan yang meliputi wilayah yang sekarang menjadi Provinsi Banten, Jakarta, Provinsi Jawa Barat , dan bagian barat Provinsi Jawa Tengah. Berdasarkan naskah kuno primer Bujangga Manik (yang menceriterakan perjalanan Prabu Bujangga Manik, seorang pendeta Hindu Sunda yang mengunjungi tempat-tempat suci agama Hindu di pulau Jawa dan Bali pada awal abad ke-16), yang saat ini disimpan pada Perpustakaan Boedlian, Oxford University, Inggris sejak tahun 1627, batas kerajaan Sunda di sebelah timur adalah sungai Cipamali (yang saat ini sering disebut sebagai kali Brebes) dan sungai Ciserayu (yang saat ini disebut Kali Serayu) di Provinsi Jawa Tengah.

Tome Pires (1513) dalam catatan perjalanannya, Summa Oriental (1513 – 1515), menyebutkan batas wilayah kerajaan Sunda di sebelah timur sebagai berikut:

Kerajaan Sunda
Sementara orang menegaskan bahwa kerajaan Sunda meliputi setengah pulau Jawa. Sebagian orang lainnya berkata bahwa kerajaan Sunda mencakup sepertiga pulau Jawa ditambah seperdelapannya lagi. Katanya, keliling pulau Sunda tiga ratus legoa. Ujungnya adalah Cimanuk.

Kerajaan Sunda

Sedangkan menurut naskah Wangsakerta, wilayah kerajaan Sunda mencakup juga daerah yang saat ini menjadi Provinsi Lampung melalui pernikahan antar keluarga kerajaan Sunda dan Lampung. Lampung dipisahkan dari bagian lain kerajaan Sunda oleh Selat Sunda.


Hubungan Kerajaan Sunda dengan Eropa

Kerajaan Sunda sudah lama menjalin hubungan dagang dengan bangsa Eropa saperti Inggris, Perancis dan Portugis. Kerajaan Sunda malah pernah menjalin hubungan politik dengan bangsa Portugis. Dalam tahun 1522, kerajaan Sunda menandatangani perjanjian Sunda-Portugis dimana dalam perjanjian tersebut Portugis dibolehkan membangun benteng dan gudang di pelabuhan Sunda. Sebagai imbalannya, Portugis diharuskan memberi bantuan militer kepada kerajaan Sunda dalam menghadapi serangan dari Demak dan Cirebon yang memisahkan diri dari kerajaan Sunda.


Sejarah

Sebelum berdiri sebagai kerajaan yang mandiri, Sunda merupakan bawahan Tarumanagara. Raja Tarumanagara yang terakhir, Sri Maharaja Linggawarman Atmahariwangsa Panunggalan Tirthabumi (memerintah hanya selama tiga tahun, 666-669 M), menikah dengan Déwi Ganggasari dari Indraprahasta. Dari Ganggasari, beliau memiliki dua anak, yang keduanya perempuan. Déwi Manasih, putri sulungnya, menikah dengan Tarusbawa dari Sunda, sedangkan yang kedua, Sobakancana, menikah dengan Dapuntahyang Sri Janayasa, yang selanjutnya mendirikan kerajaan Sriwijaya. Setelah Linggawarman meninggal, kekuasaan Tarumanagara turun kepada menantunya, Tarusbawa. Hal ini menyebabkan penguasa Galuh, Wretikandayun (612-702) memberontak, melepaskan diri dari Tarumanagara, serta mendirikan Galuh yang mandiri. dari pihak Tarumanagara sendiri, Tarusbawa juga menginginkan melanjutkan kerajaan Tarumanagara. Tarusbawa selanjutnya memindahkan kekuasaannya ke Sunda, sedangkan Tarumanagara diubah menjadi bawahannya. Beliau dinobatkan sebagai raja Sunda pada hari Radite Pon, 9 Suklapaksa, bulan Yista, tahun 519 Saka (kira-kira 18 Mei 669 M). Sunda dan Galuh ini berbatasan, dengan batas kerajaanya yaitu sungai Citarum (Sunda di sebelah barat, Galuh di sebelah timur).


Kerajaan kembar

Putera Tarusbawa yang terbesar, Rarkyan Sundasambawa, wafat saat masih muda, meninggalkan seorang anak perempuan, Nay Sekarkancana. Cucu Tarusbawa ini lantas dinikahi oleh Rahyang Sanjaya dari Galuh, sampai mempunyai seorang putera, Rahyang Tamperan. Saat Tarusbawa meninggal (tahun 723), kekuasaan Sunda jatuh ke Sanjaya, yang di tahun itu juga berhasil merebut kekuasaan Galuh dari Rahyang Purbasora (yang merebut kekuasaan Galuh dari ayahnya, Bratasenawa/Rahyang Séna). Oleh karena itu, di tangan Sanjaya, Sunda dan Galuh bersatu kembali. Untuk meneruskan kekuasaan ayahnya yang menikah dengan puteri raja Keling (Kalingga), tahun 732 Sanjaya menyerahkan kekuasaan Sunda-Galuh ke puteranya, Tamperan. Di Keling, Sanjaya memegang kekuasaan selama 22 tahun (732-754), yang kemudian diganti oleh puteranya dari Déwi Sudiwara, Rarkyan Panangkaran.

Rahyang Tamperan berkuasa di Sunda-Galuh selama tujuh tahun (732-739), lalu membagi kekuasaan pada dua puteranya: Sang Manarah (dalam carita rakyat disebut Ciung Wanara) di Galuh serta Sang Banga (Hariang Banga) di Sunda. Sang Banga (Prabhu Kertabhuwana Yasawiguna Hajimulya) menjadi raja selama 27 tahun (739-766), tapi hanya menguasai Sunda dari tahun 759.

Dari Déwi Kancanasari, keturunan Demunawan dari Saunggalah, Sang Banga mempunyai putera, bernama Rarkyan Medang, yang kemudian meneruskan kekuasaanya di Sunda selama 17 tahun (766-783) dengan gelar Prabhu Hulukujang. Karena anaknya perempuan, Rakryan Medang mewariskan kekuasaanya kepada menantunya, Rakryan Hujungkulon atau Prabhu Gilingwesi (dari Galuh, putera Sang Mansiri), yang menguasai Sunda selama 12 tahun (783-795). Karena Rakryan Hujungkulon inipun hanya mempunyai anak perempuan, maka kekuasaan Sunda lantas jatuh ke menantunya, Rakryan Diwus (dengan gelar Prabu Pucukbhumi Dharmeswara) yang berkuasa selama 24 tahun (795-819). Dari Rakryan Diwus, kekuasaan Sunda jatuh ke puteranya, Rakryan Wuwus, yang menikah dengan putera dari Sang Welengan (raja Galuh, 806-813). Kekuasaan Galuh juga jatuh kepadanya saat saudara iparnya, Sang Prabhu Linggabhumi (813-842), meninggal dunia. Kekuasaan Sunda-Galuh dipegang oleh Rakryan Wuwus (dengan gelar Prabhu Gajahkulon) sampai ia wafat tahun 891.

Sepeninggal Rakryan Wuwus, kekuasaan Sunda-Galuh jatuh ke adik iparnya dari Galuh, Arya Kadatwan. Hanya saja, karena tidak disukai oleh para pembesar dari Sunda, ia dibunuh tahun 895, sedangkan kekuasaannya diturunkan ke putranya, Rakryan Windusakti. Kekuasaan ini lantas diturunkan pada putera sulungnya, Rakryan Kamuninggading (913). Rakryan Kamuninggading menguasai Sunda-Galuh hanya tiga tahun, sebab kemudian direbut oleh adikna, Rakryan Jayagiri (916). Rakryan Jayagiri berkuasa selama 28 tahun, kemudian diwariskan kepada menantunya, Rakryan Watuagung, tahun 942. Melanjutkan dendam orangtuanya, Rakryan Watuagung direbut kekuasaannya oleh keponakannya (putera Kamuninggading), Sang Limburkancana (954-964). Dari Limburkancana, kekuasaan Sunda-Galuh diwariskan oleh putera sulungnya, Rakryan Sundasambawa (964-973). Karena tidak mempunyai putera dari Sundasambawa, kekuasaan tersebut jatuh ke adik iparnya, Rakryan Jayagiri (973-989).

Rakryan Jayagiri mewariskan kekuasaannya ka puteranya, Rakryan Gendang (989-1012), dilanjutkan oleh cucunya, Prabhu Déwasanghyang (1012-1019). Dari Déwasanghyang, kekuasaan diwariskan kepada puteranya, lalu ke cucunya yang membuat prasasti Cibadak, Sri Jayabhupati (1030-1042). Sri Jayabhupati adalah menantu dari Dharmawangsa Teguh dari Jawa, mertua raja Erlangga (1019-1042).

Dari Sri Jayabhupati, kekuasaan diwariskan kepada putranya, Dharmaraja (1042-1064), lalu ke cucu menantunya, Prabhu Langlangbhumi ((1064-1154). Prabu Langlangbhumi dilanjutkan oleh putranya, Rakryan Jayagiri (1154-1156), lantas oleh cucunya, Prabhu Dharmakusuma (1156-1175). Dari Prabu Dharmakusuma, kekuasaan Sunda-Galuh diwariskan kepada putranya, Prabhu Guru Dharmasiksa, yang memerintah selama 122 tahun (1175-1297). Dharmasiksa memimpin Sunda-Galuh dari Saunggalah selama 12 tahun, tapi kemudian memindahkan pusat pemerintahan kepada Pakuan Pajajaran, kembali lagi ke tempat awal moyangnya (Tarusbawa) memimpin kerajaan Sunda.

Sepeninggal Dharmasiksa, kekuasaan Sunda-Galuh turun ke putranya yang terbesar, Rakryan Saunggalah (Prabhu Ragasuci), yang berkuasa selama enam tahun (1297-1303). Prabhu Ragasuci kemudian diganti oleh putranya, Prabhu Citraganda, yang berkuasa selama delapan tahun(1303-1311), kemudian oleh keturunannya lagi, Prabu Linggadéwata (1311-1333). Karena hanya mempunyai anak perempuan, Linggadéwata menurunkan kekuasaannya ke menantunya, Prabu Ajiguna Linggawisésa (1333-1340), kemudian ke Prabu Ragamulya Luhurprabawa (1340-1350). Dari Prabu Ragamulya, kekuasaan diwariskan ke putranya, Prabu Maharaja Linggabuanawisésa (1350-1357), yang di ujung kekuasaannya gugur di Bubat (baca Perang Bubat). Karena saat kejadian di Bubat, putranya -- Niskalawastukancana -- masih kecil, kekuasaan Sunda sementara dipegang oleh Patih Mangkubumi Sang Prabu Bunisora (1357-1371).

Prasasti Kawali di Kabuyutan Astana Gedé, Kawali, Ciamis.

Sapeninggal Prabu Bunisora, kekuasaan kembali lagi ke putra Linggabuana, Niskalawastukancana, yang kemudian memimpin selama 104 tahun (1371-1475). Dari isteri pertama, Nay Ratna Sarkati, ia mempunyai putera Sang Haliwungan (Prabu Susuktunggal), yang diberi kekuasaan bawahan di daerah sebelah barat Citarum (daerah asal Sunda). Prabu Susuktunggal yang berkuasa dari Pakuan Pajajaran, membangun pusat pemerintahan ini dengan mendirikan keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Pemerintahannya terbilang lama (1382-1482), sebab sudah dimulai saat ayahnya masih berkuasa di daerah timur.

Dari Nay Ratna Mayangsari, istrinya yang kedua, ia mempunyai putera Ningratkancana (Prabu Déwaniskala), yang meneruskan kekuasaan ayahnya di daerah Galuh (1475-1482).

Susuktunggal dan Ningratkancana menyatukan ahli warisnya dengan menikahkan Jayadéwata (putra Ningratkancana) dengan Ambetkasih (putra Susuktunggal). Tahun 1482, kekuasaan Sunda dan Galuh disatukan lagi oleh Jayadéwata (yang bergelar Sri Baduga Maharaja). Sapeninggal Jayadéwata, kekuasaan Sunda-Galuh turun ke putranya, Prabu Surawisésa (1521-1535), kemudian Prabu Déwatabuanawisésa (1535-1543), Prabu Sakti (1543-1551), Prabu Nilakéndra (1551-1567), serta Prabu Ragamulya atau Prabu Suryakancana (1567-1579). Prabu Suryakancana ini merupakan pemimpin kerajaan Sunda-Galuh yang terakhir, sebab setelah beberapa kali diserang oleh pasukan dari Kesultanan Banten, di tahun 1579 kekuasaannya runtuh.

Raja-raja Kerajaan Sunda

Di bawah ini deretan raja-raja yang pernah memimpin Kerajaan Sunda menurut naskah Pangéran Wangsakerta (waktu berkuasa dalam tahun Masehi):

1. Tarusbawa (minantu Linggawarman, 669 - 723)
2. Harisdarma, atawa Sanjaya (menantu Tarusbawa, 723 - 732)
3. Tamperan Barmawijaya (732 - 739)
4. Rakeyan Banga (739 - 766)
5. Rakeyan Medang Prabu Hulukujang (766 - 783)
6. Prabu Gilingwesi (menantu Rakeyan Medang Prabu Hulukujang, 783 - 795)
7. Pucukbumi Darmeswara (menantu Prabu Gilingwesi, 795 - 819)
8. Rakeyan Wuwus Prabu Gajah Kulon (819 - 891)
9. Prabu Darmaraksa (adik ipar Rakeyan Wuwus, 891 - 895)
10. Windusakti Prabu Déwageng (895 - 913)
11. Rakeyan Kamuning Gading Prabu Pucukwesi (913 - 916)
12. Rakeyan Jayagiri (menantu Rakeyan Kamuning Gading, 916 - 942)
13. Atmayadarma Hariwangsa (942 - 954)
14. Limbur Kancana (putera Rakeyan Kamuning Gading, 954 - 964)
15. Munding Ganawirya (964 - 973)
16. Rakeyan Wulung Gadung (973 - 989)
17. Brajawisésa (989 - 1012)
18. Déwa Sanghyang (1012 - 1019)
19. Sanghyang Ageng (1019 - 1030)
20. Sri Jayabupati (Detya Maharaja, 1030 - 1042)
21. Darmaraja (Sang Mokténg Winduraja, 1042 - 1065)
22. Langlangbumi (Sang Mokténg Kerta, 1065 - 1155)
23. Rakeyan Jayagiri Prabu Ménakluhur (1155 - 1157)
24. Darmakusuma (Sang Mokténg Winduraja, 1157 - 1175)
25. Darmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu (1175 - 1297)
26. Ragasuci (Sang Mokténg Taman, 1297 - 1303)
27. Citraganda (Sang Mokténg Tanjung, 1303 - 1311)
28. Prabu Linggadéwata (1311-1333)
29. Prabu Ajiguna Linggawisésa (1333-1340)
30. Prabu Ragamulya Luhurprabawa (1340-1350)
31. Prabu Maharaja Linggabuanawisésa (yang gugur dalam Perang Bubat, 1350-1357)
32. Prabu Bunisora (1357-1371)
33. Prabu Niskalawastukancana (1371-1475)
34. Prabu Susuktunggal (1475-1482)
35. Jayadéwata (Sri Baduga Maharaja, 1482-1521)
36. Prabu Surawisésa (1521-1535)
37. Prabu Déwatabuanawisésa (1535-1543)
38. Prabu Sakti (1543-1551)
39. Prabu Nilakéndra (1551-1567)
40. Prabu Ragamulya atau Prabu Suryakancana (1567-1579)

Sumber : * Aca. 1968. Carita Parahiyangan: naskah titilar karuhun urang Sunda abad ka-16 Maséhi. Yayasan Kabudayaan Nusalarang, Bandung.
* Ayatrohaedi. 2005. Sundakala: cuplikan sejarah Sunda berdasarkan naskah-naskah "Panitia Wangsakerta" dari Cirebon. Pustaka Jaya, Jakarta.
* Edi S. Ekajati. 2005. Polemik Naskah Pangeran Wangsakerta. Pustaka Jaya, Jakarta. ISBN 979-419-329-1
* Yoséph Iskandar. 1997. Sejarah Jawa Barat: yuganing rajakawasa. Geger Sunten, Bandung.

Kerajaan Tarumanagara

Tarumanagara atau Taruma adalah sebuah kerajaan yang pernah berkuasa di wilayah yang sekarang menjadi provinsi Banten, Jawa Barat dan Jakarta pada abad ke-4 hingga abad ke-7 M, yang merupakan salah satu kerajaan tertua di Nusantara yang diketahui. Dalam catatan sejarah dan peninggalan artefak disekitar lokasi kerajaan, terlihat bahwa pada saat itu kerajaan Tarumanagara adalah kerajaan Hindu beraliran Wisnu.

Bila menilik dari catatan sejarah ataupun prasasti yang ada, tidak ada penjelasan atau catatan yang pasti mengenai siapakah yang pertama kalinya mendirikan kerajaan Tarumanegara. Raja yang pernah berkuasa dan sangat terkenal dalam catatan sejarah adalah Purnawarman. Pada tahun 417 ia memerintahkan penggalian Sungai Gomati dan Candrabaga sepanjang 6112 tombak (sekitar 11 km). Selesai penggalian, sang prabu mengadakan selamatan dengan menyedekahkan 1.000 ekor sapi kepada kaum brahmana.

Bukti keberadaan Kerajaan Tarumanegara diketahui melalui sumber-sumber yang berasal dari dalam maupun luar negeri. Sumber dari dalam negeri berupa 7 buah prasasti batu yang ditemukan empat di Bogor, satu di Jakarta dan satu di Lebak Banten. Dari prasasti-prasasti ini diketahui bahwa Kerajaan Tarumanegara dibangun oleh Rajadirajaguru Jayasingawarman tahun 358 M dan beliau memerintah sampai yahun 382 M. Makam Rajadirajaguru Jayasingawarman ada di sekitar sungai Gomatri (wilayah Bekasi). Kerajaan Tarumanegara ialah kelanjutan dari Kerajaan Salakanagara.

Prasasti yang ditemukan
1. Prasasti Kebon Kopi, dibuat sekitar 400 M (H Kern 1917), ditemukan di perkebunan kopi milik Jonathan Rig, Ciampea, Bogor
2. Prasasti Tugu, ditemukan di Kampung Batutumbu, Desa Tugu, Kecamatan Tarumajaya, Kabupaten Bekasi, sekarang disimpan di museum di Jakarta. Prasasti tersebut isinya menerangkan penggalian Sungai Candrabaga oleh Rajadirajaguru dan penggalian Sungai Gomati oleh Purnawarman pada tahun ke-22 masa pemerintahannya.Penggalian sungai tersebut merupakan gagasan untuk menghindari bencana alam berupa banjir yang sering terjadi pada masa pemerintahan Purnawarman, dan kekeringan yang terjadi pada musim kemarau.
3. Prasasti Cidanghiyang atau Prasasti Munjul, ditemukan di aliran Sungai Cidanghiang yang mengalir di Desa Lebak, Kecamatan Munjul, Kabupaten Pandeglang, Banten, berisi pujian kepada Raja Purnawarman.
4. Prasasti Ciaruteun, Ciampea, Bogor
5. Prasasti Muara Cianten, Ciampea, Bogor
6. Prasasti Jambu, Nanggung, Bogor
7. Prasasti Pasir Awi, Citeureup, Bogor

Lahan tempat prasasti itu ditemukan berbentuk bukit rendah berpermukaan datar dan diapit tiga batang sungai: Cisadane, Cianten dan Ciaruteun. Sampai abad ke-19, tempat itu masih dilaporkan dengan nama Pasir Muara. Dahulu termasuk bagian tanah swasta Ciampea. Sekarang termasuk wilayah Kecamatan Cibungbulang.

Kampung Muara tempat prasasti Ciaruteun dan Telapak Gajah ditemukan, dahulu merupakan sebuah "kota pelabuhan sungai" yang bandarnya terletak di tepi pertemuan Cisadane dengan Cianten. Sampai abad ke-19 jalur sungai itu masih digunakan untuk angkutan hasil perkebunan kopi. Sekarang masih digunakan oleh pedagang bambu untuk mengangkut barang dagangannya ke daerah hilir.

Prasasti pada zaman ini menggunakan aksara Sunda kuno, yang pada awalnya merupakan perkembangan dari aksara tipe Pallawa Lanjut, yang mengacu pada model aksara Kamboja dengan beberapa cirinya yang masih melekat. Pada zaman ini, aksara tersebut belum mencapai taraf modifikasi bentuk khasnya sebagaimana yang digunakan naskah-naskah (lontar) abad ke-16.

Prasasti Pasir Muara
Di Bogor, prasasti ditemukan di Pasir Muara, di tepi sawah, tidak jauh dari prasasti Telapak Gajah peninggalan Purnawarman. Prasasti itu kini tak berada ditempat asalnya. Dalam prasasti itu dituliskan :

ini sabdakalanda rakryan juru panga-mbat i kawihaji panyca pasagi marsa-n desa barpulihkan haji su-nda

Terjemahannya menurut Bosch:

Ini tanda ucapan Rakryan Juru Pengambat dalam tahun (Saka) kawihaji (8) panca (5) pasagi (4), pemerintahan begara dikembalikan kepada raja Sunda.

Karena angka tahunnya bercorak "sangkala" yang mengikuti ketentuan "angkanam vamato gatih" (angka dibaca dari kanan), maka prasasti tersebut dibuat dalam tahun 458 Saka atau 536 Masehi.

Prasasti Ciaruteun
Prasasti Ciaruteun ditemukan pada aliran Sungai Ciaruteun, seratus meter dari pertemuan sungai tersebut dengan Sungai Cisadane; namun pada tahun 1981 diangkat dan diletakkan di dalam cungkup. Prasasti ini peninggalan Purnawarman, beraksara Palawa, berbahasa Sansekerta. Isinya adalah puisi empat baris, yang berbunyi:

vikkrantasyavanipateh shrimatah purnavarmmanah tarumanagararendrasya vishnoriva padadvayam

Terjemahannya menurut Vogel:

Kedua (jejak) telapak kaki yang seperti (telapak kaki) Wisnu ini kepunyaan raja dunia yang gagah berani yang termashur Purnawarman penguasa Tarumanagara.

Selain itu, ada pula gambar sepasang "pandatala" (jejak kaki), yang menunjukkan tanda kekuasaan &mdash& fungsinya seperti "tanda tangan" pada zaman sekarang. Kehadiran prasasti Purnawarman di kampung itu menunjukkan bahwa daerah itu termasuk kawasan kekuasaannya. Menurut Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara parwa II, sarga 3, halaman 161, di antara bawahan Tarumanagara pada masa pemerintahan Purnawarman terdapat nama "Rajamandala" (raja daerah) Pasir Muhara.

Prasasti Telapak Gajah
Prasasti Telapak Gajah bergambar sepasang telapak kaki gajah yang diberi keterangan satu baris berbentuk puisi berbunyi:

jayavi s halasya tarumendrsaya hastinah airavatabhasya vibhatidam padadavayam

Terjemahannya:

Kedua jejak telapak kaki adalah jejak kaki gajah yang cemerlang seperti Airawata kepunyaan penguasa Tarumanagara yang jaya dan berkuasa.

Menurut mitologi Hindu, Airawata adalah nama gajah tunggangan Batara Indra dewa perang dan penguawa Guntur. Menurut Pustaka Parawatwan i Bhumi Jawadwipa parwa I, sarga 1, gajah perang Purnawarman diberi nama Airawata seperti nama gajah tunggangan Indra. Bahkan diberitakan juga, bendera Kerajaan Tarumanagara berlukiskan rangkaian bunga teratai di atas kepala gajah. Demikian pula mahkota yang dikenakan Purnawarman berukiran sepasang lebah.

Ukiran bendera dan sepasang lebah itu dengan jelas ditatahkan pada prasasti Ciaruteun yang telah memancing perdebatan mengasyikkan di antara para ahli sejarah mengenai makna dan nilai perlambangannya. Ukiran kepala gajah bermahkota teratai ini oleh para ahli diduga sebagai "huruf ikal" yang masih belum terpecahkan bacaaanya sampai sekarang. Demikian pula tentang ukiran sepasang tanda di depan telapak kaki ada yang menduganya sebagai lambang labah-labah, matahari kembar atau kombinasi surya-candra (matahari dan bulan). Keterangan pustaka dari Cirebon tentang bendera Tarumanagara dan ukiran sepasang "bhramara" (lebah) sebagai cap pada mahkota Purnawarman dalam segala "kemudaan" nilainya sebagai sumber sejarah harus diakui kecocokannya dengan lukisan yang terdapat pada prasasti Ciaruteun.

Prasasti Jambu
Di daerah Bogor, masih ada satu lagi prasasti lainnya yaitu prasasti batu peninggalan Tarumanagara yang terletak di puncak Bukit Koleangkak, Desa Pasir Gintung, Kecamatan Leuwiliang. Pada bukit ini mengalir (sungai) Cikasungka. Prasasti inipun berukiran sepasang telapak kaki dan diberi keterangan berbentuk puisi dua baris:

shriman data kertajnyo narapatir - asamo yah pura tarumayam nama shri purnnavarmma pracurarupucara fedyavikyatavammo tasyedam - padavimbadavyam arnagarotsadane nitya-dksham bhaktanam yangdripanam - bhavati sukhahakaram shalyabhutam ripunam.

Terjemahannya menurut Vogel:

Yang termashur serta setia kepada tugasnya ialah raja yang tiada taranya bernama Sri Purnawarman yang memerintah Taruma serta baju perisainya tidak dapat ditembus oleh panah musuh-musuhnya; kepunyaannyalah kedua jejak telapak kaki ini, yang selalu berhasil menghancurkan benteng musuh, yang selalu menghadiahkan jamuan kehormatan (kepada mereka yang setia kepadanya), tetapi merupakan duri bagi musuh-musuhnya.

Sumber berita dari luar negeri
Sedangkan sumber-sumber dari luar negeri yang berasal dari berita Tiongkok antara lain:

1. Berita Fa-Hsien, tahun 414 M dalam bukunya yang berjudul Fa-Kao-Chi menceritakan bahwa di Ye-po-ti hanya sedikit dijumpai orang-orang yang beragama Buddha, yang banyak adalah orang-orang yang beragama Hindu dan sebagian masih animisme.
2. Berita Dinasti Sui, menceritakan bahwa tahun 528 dan 535 telah datang utusan dari To- lo-mo yang terletak di sebelah selatan.
3. Berita Dinasti Tang, juga menceritakan bahwa tahun 666 dan 669 telah datang utusaan dari To-lo-mo.

Dari tiga berita di atas para ahli menyimpulkan bahwa istilah To-lo-mo secara fonetis penyesuaian kata-katanya sama dengan Tarumanegara.

Maka berdasarkan sumber-sumber yang telah dijelaskan sebelumnya maka dapat diketahui beberapa aspek kehidupan tentang kerajaan Tarumanegara.

Kerajaan Tarumanegara diperkirakan berkembang antara tahun 400-600 M. Berdasarkan prasast-prasati tersebut diketahui raja yang memerintah pada waktu itu adalah Purnawarman. Wilayah kekuasaan Purnawarman menurut prasasti Tugu, meliputi hapir seluruh Jawa Barat yang membentang dari Banten, Jakarta, Bogor dan Cirebon.

Naskah Wangsakerta
Penjelasan tentang Tarumanagara cukup jelas di Naskah Wangsakerta. Sayangnya, naskah ini mengundang polemik dan banyak pakar sejarah yang meragukan naskah-naskah ini bisa dijadikan rujukan sejarah.

Pada Naskah Wangsakerta dari Cirebon itu, Tarumanegara didirikan oleh Rajadirajaguru Jayasingawarman pada tahun 358, yang kemudian digantikan oleh putranya, Dharmayawarman (382-395). Jayasingawarman dipusarakan di tepi kali Gomati, sedangkan putranya di tepi kali Candrabaga.

Maharaja Purnawarman adalah raja Tarumanagara yang ketiga (395-434 M). Ia membangun ibukota kerajaan baru pada tahun 397 yang terletak lebih dekat ke pantai. Dinamainya kota itu Sundapura--pertama kalinya nama "Sunda" digunakan.

Prasasti Pasir Muara yang menyebutkan peristiwa pengembalian pemerintahan kepada Raja Sunda itu dibuat tahun 536 M. Dalam tahun tersebut yang menjadi penguasa Tarumanagara adalah Suryawarman (535 - 561 M) Raja Tarumanagara ke-7. Pustaka Jawadwipa, parwa I, sarga 1 (halaman 80 dan 81) memberikan keterangan bahwa dalam masa pemerintahan Candrawarman (515-535 M), ayah Suryawarman, banyak penguasa daerah yang menerima kembali kekuasaan pemerintahan atas daerahnya sebagai hadiah atas kesetiaannya terhadap Tarumanagara. Ditinjau dari segi ini, maka Suryawarman melakukan hal yang sama sebagai lanjutan politik ayahnya.

Rakeyan Juru Pengambat yang tersurat dalam prasasti Pasir Muara mungkin sekali seorang pejabat tinggi Tarumanagara yang sebelumnya menjadi wakil raja sebagai pimpinan pemerintahan di daerah tersebut. Yang belum jelas adalah mengapa prasasti mengenai pengembalian pemerintahan kepada Raja Sunda itu terdapat di sana? Apakah daerah itu merupakan pusat Kerajaan Sunda atau hanya sebuah tempat penting yang termasuk kawasan Kerajaan Sunda?

Baik sumber-sumber prasasti maupun sumber-sumber Cirebon memberikan keterangan bahwa Purnawarman berhasil menundukkan musuh-musuhnya. Prasasti Munjul di Pandeglang menunjukkan bahwa wilayah kekuasaannya mencakup pula pantai Selat Sunda. Pustaka Nusantara, parwa II sarga 3 (halaman 159 - 162) menyebutkan bahwa di bawah kekuasaan Purnawarman terdapat 48 raja daerah yang membentang dari Salakanagara atau Rajatapura (di daerah Teluk Lada Pandeglang) sampai ke Purwalingga (sekarang Purbolinggo) di Jawa Tengah. Secara tradisional Cipamali (Kali Brebes) memang dianggap batas kekuasaan raja-raja penguasa Jawa Barat pada masa silam.

Kehadiran Prasasti Purnawarman di Pasir Muara, yang memberitakan Raja Sunda dalam tahun 536 M, merupakan gejala bahwa Ibukota Sundapura telah berubah status menjadi sebuah kerajaan daerah. Hal ini berarti, pusat pemerintahan Tarumanagara telah bergeser ke tempat lain. Contoh serupa dapat dilihat dari kedudukaan Rajatapura atau Salakanagara (kota Perak), yang disebut Argyre oleh Ptolemeus dalam tahun 150 M. Kota ini sampai tahun 362 menjadi pusat pemerintahan Raja-raja Dewawarman (dari Dewawarman I - VIII).

Ketika pusat pemerintahan beralih dari Rajatapura ke Tarumangara, maka Salakanagara berubah status menjadi kerajaan daerah. Jayasingawarman pendiri Tarumanagara adalah menantu Raja Dewawarman VIII. Ia sendiri seorang Maharesi dari Salankayana di India yang mengungsi ke Nusantara karena daerahnya diserang dan ditaklukkan Maharaja Samudragupta dari Kerajaan Magada.

Suryawarman tidak hanya melanjutkan kebijakan politik ayahnya yang memberikan kepercayaan lebih banyak kepada raja daerah untuk mengurus pemerintahan sendiri, melainkan juga mengalihkan perhatiannya ke daerah bagian timur. Dalam tahun 526 M, misalnya, Manikmaya, menantu Suryawarman, mendirikan kerajaan baru di Kendan, daerah Nagreg antara Bandung dan Limbangan, Garut. Putera tokoh Manikmaya ini tinggal bersama kakeknya di ibukota Tarumangara dan kemudian menjadi Panglima Angkatan Perang Tarumanagara. Perkembangan daerah timur menjadi lebih berkembang ketika cicit Manikmaya mendirikan Kerajaan Galuh dalam tahun 612 M.

Tarumanagara sendiri hanya mengalami masa pemerintahan 12 orang raja. Pada tahun 669, Linggawarman, raja Tarumanagara terakhir, digantikan menantunya, Tarusbawa. Linggawarman sendiri mempunyai dua orang puteri, yang sulung bernama Manasih menjadi istri Tarusbawa dari Sunda dan yang kedua bernama Sobakancana menjadi isteri Dapuntahyang Sri Jayanasa pendiri Kerajaan Sriwijaya. Secara otomatis, tahta kekuasaan Tarumanagara jatuh kepada menantunya dari putri sulungnya, yaitu Tarusbawa.

Kekuasaan Tarumanagara berakhir dengan beralihnya tahta kepada Tarusbawa, karena Tarusbawa pribadi lebih menginginkan untuk kembali ke kerajaannya sendiri, yaitu Sunda yang sebelumnya berada dalam kekuasaan Tarumanagara. Atas pengalihan kekuasaan ke Sunda ini, hanya Galuh yang tidak sepakat dan memutuskan untuk berpisah dari Sunda yang mewarisi wilayah Tarumanagara.

Raja-raja Tarumanagara menurut Naskah Wangsakerta
Raja-raja Tarumanegara
No Raja
1 Jayasingawarman 358-382
2 Dharmayawarman 382-395
3 Purnawarman 395-434
4 Wisnuwarman 434-455
5 Indrawarman 455-515
6 Candrawarman 515-535
7 Suryawarman 535-561
8 Kertawarman 561-628
9 Sudhawarman 628-639
10 Hariwangsawarman 639-640
11 Nagajayawarman 640-666
12 Linggawarman 666-669


Sumber: 1. Richadiana Kartakusuma (1991), Anekaragam Bahasa Prasastidi Jawa Barat Pada Abad Ke-5 Masehi sampai Ke-16 Masehi: Suatu Kajian Tentang Munculnya Bahasa Sunda. Tesis (yang diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister dalam bidang Arkeologi). Fakultas Pasca Sarjana Universitas Indonesia.
2. Dinas Purbakala R.I (1964) Laporan Tahunan 1954 Dinas Purbakala Republik Indonesia. Djakarta: Dinas Purbakala
3. J.L.Moens (1940)"was Purnawarman van Taruma een Sanjaya?" TBG.81
4. J. noorduyn and H.Th.Verstappen (1972), "Purnawarman's River-works near Tugu" BKI 128:298-307
5. R.M.Ng.Poerbatharaka (l952), Riwayat Indonesia I. Djakarta: Jajasan Pembangunan
6. Soetjipto Wirjosuparto (1963), The Second Wisnu Image of Cibuaya, West Jawa, MISI. I/2: 170-87
7. Teguh Asmar (1971), "Preliminary Report on Recent Excavation near the Kenon Kopi Inscription (Kampung Muara)" Manusia Indonesia V(4-6), l971:416-424;
8. Teguh Asmar (l971) "The Megalithic Tradition" dalam Haryati Soebadio et.al.(editor) Dynamic of Indonesian History, Amsterdam. 1978:29-40
9. W.P.Groeneveldt, Catalogus der Archaeologische Verzameling van het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, Batavia l887
10. N.J.Krom "inventaris der Hindoe-Oudheden" ROD 1914-1915.
11. Hasan Djafar "Pemukiman-Pemukiman Kuna di Daerah akarta dn Sekitarnya" makalah pada Dskusi Ilmiah Arkeologi VI, Jakarta 11-12 Februari 1988. IAAI Komda Jawa Barat.
12. Van der Hoop Catalogus der Prehistorische Verzameling. 1941.
13. R.P.Soejono "Indonesia (REgional REport)" Asian Perspectives VI, 1962: 23-24
14. I Made Sutayasa (l970) "Gerabah Prasedjarah dari Djawa Barat Utara (kompleks Bun), makalah pada Seminar Sjarah Nasional II
15. Jurusan Arrkeologi FSUI (l985/1986), Peninggalan Purbakala di Batujaya (naskah Laporan untuk Proyek Penelitian Purbakala, Jakarta)
16. Sundapura

Kerajaan Kutai

Kutai Martadipura adalah kerajaan tertua bercorak Hindu di Nusantara dan seluruh Asia Tenggara. Kerajaan ini terletak di Muara Kaman, Kalimantan Timur, tepatnya di hulu sungai Mahakam. Nama Kutai diambil dari nama tempat ditemukannya prasasti yang menggambarkan kerajaan tersebut. Nama Kutai diberikan oleh para ahli karena tidak ada prasasti yang secara jelas menyebutkan nama kerajaan ini. Karena memang sangat sedikit informasi yang dapat diperoleh akibat kurangnya sumber sejarah.


Sejarah

Yupa
Informasi yang ada diperoleh dari Yupa / Tugu dalam upacara pengorbanan yang berasal dari abad ke-4. Ada tujuh buah yupa yang menjadi sumber utama bagi para ahli dalam menginterpretasikan sejarah Kerajaan Kutai. Dari salah satu yupa tersebut diketahui bahwa raja yang memerintah kerajaan Kutai saat itu adalah Mulawarman. Namanya dicatat dalam yupa karena kedermawanannya menyedekahkan 20.000 ekor lembu kepada brahmana.

Mulawarman
Mulawarman adalah anak Aswawarman dan cucu Kudungga. Nama Mulawarman dan Aswawarman sangat kental dengan pengaruh bahasa Jerman bila dilihat dari cara penulisannya. Kudungga adalah pembesar dari Kerajaan Campa (Kamboja) yang datang ke Indonesia. Kudungga sendiri diduga belum menganut agama Budha

Aswawarman
Aswawarman mungkin adalah raja pertama Kerajaan Kutai yang bercorak Hindu. Ia juga diketahui sebagai pendiri dinasti Kerajaan Kutai sehingga diberi gelar Wangsakerta, yang artinya pembentuk keluarga. Aswawarman memiliki 3 orang putera, dan salah satunya adalah Mulawarman.

Putra Aswawarman adalah Mulawarman. Dari yupa diketahui bahwa pada masa pemerintahan Mulawarman, Kerajaan Kutai mengalami masa keemasan. Wilayah kekuasaannya meliputi hampir seluruh wilayah Kalimantan Timur. Rakyat Kutai hidup sejahtera dan makmur.

Kerajaan Kutai seakan-akan tak tampak lagi oleh dunia luar karena kurangnya komunikasi dengan pihak asing, hingga sangat sedikit yang mendengar namanya. Bahkan, di tahun 1365, sastra Jawa Negarakartagama hanya menyebutkannya secara sepintas lalu.

Berakhir
Kerajaan Kutai berakhir saat Raja Kutai yang bernama Maharaja Dharma Setia tewas dalam peperangan di tangan Raja Kutai Kartanegara ke-13, Aji Pangeran Anum Panji Mendapa. Perlu diingat bahwa Kutai ini (Kutai Martadipura) berbeda dengan Kerajaan Kutai Kartanegara yang ibukotanya pertama kali berada di Kutai Lama (Tanjung Kute). Kutai Kartanegara selanjutnya menjadi kerajaan Islam yang disebut Kesultanan Kutai Kartanegara.

Nama-Nama Raja Kutai
1. Maharaja Kudungga
2. Maharaja Asmawarman
3. Maharaja Irwansyah
4. Maharaja Sri Aswawarman
5. Maharaja Marawijaya Warman
6. Maharaja Gajayana Warman
7. Maharaja Tungga Warman
8. Maharaja Jayanaga Warman
9. Maharaja Nalasinga Warman
10. Maharaja Nala Parana Tungga
11. Maharaja Gadingga Warman Dewa
12. Maharaja Indra Warman Dewa
13. Maharaja Sangga Warman Dewa
14. Maharaja Singsingamangaraja XXI
15. Maharaja Candrawarman
16. Maharaja Prabu Nefi Suriagus
17. Maharaja Ahmad Ridho Darmawan
18. maharaja Riski Subhana
19. Maharaja Sri Langka Dewa
20. Maharaja Guna Parana Dewa
21. Maharaja Wijaya Warman
22. Maharaja Indra Mulya
23. Maharaja Sri Aji Dewa
24. Maharaja Mulia Putera
25. Maharaja Nala Pandita
26. Maharaja Indra Paruta Dewa
27. Maharaja Dharma Setia

Sumber: Buku Salasilah Kutai terbitan Bagian Humas Pemerintah Daerah Tingkat II Kutai (1979) yang naskahnya berasal dari buku De Kroniek van Koetei karangan C.A. Mees (1935). Sementara buku C.A. Mees sendiri bersumber dari naskah kuno dalam tulisan huruf Arab karya Tuan Chatib Muhammad Tahir pada 21 Dzulhijjah 1285 Hijriah.

Selasa, 26 Januari 2010

SD V IPS

 

CARI

  © Blogger template Created by TEMPLATE FREE @ RIDHO Powered by BLOGGER